Tuesday, October 03, 2006

Mengoptimumkan Pengembangan Koleksi

Janti G. Sujana
Pustakawan Madya pada Perpustakaan Institut Pertanian Bogor

(jantigs@ipb.ac.id)

A. Pendahuluan


Setiap perpustakaan tentunya mempunyai visi yang berbeda, namun dapat dipastikan bahwa perpustakaan itu dikatakan berhasil bila banyak digunakan oleh komunitasnya. Salah satu aspek penting untuk membuat perpustakaan itu banyak digunakan adalah ketersediaan koleksi yang memenuhi kebutuhan penggunanya. Oleh karena itu tugas utama setiap perpustakaan adalah membangun koleksi yang kuat derni kepentingan pengguna perpustakaan. Pustakawan yang diberi tugas di bidang pengembangan koleksi, harus tahu betul apa tujuan perpustakaan tempat mereka bekerja dan siapa penggunanya, serta apa kebutuhannya.

Untuk melihat apakah tujuan perpustakaan sudah tercapai dan bagaimana kualitas koleksi yang telah dikembangkan tersebut sudah memenuhi standar, perlu diadakan suatu analisis dan evaluasi koleksi. Evaluasi koleksi adalah kegiatan menilai koleksi perpustakaan baik dari segi ketersediaan koleksi itu bagi pengguna maupun pemanfaatan koleksi itu oleh pengguna. Pedoman untuk mengevaluasi koleksi perpustakaan yang dikeluarkan oleh American Library Association membagi metode kedalarn ukuran-ukuran terpusat pada koleksi dan ukuran-ukuran terpusat pada penggunaan. Dalam setiap kategori ada sejumlah metode evaluasi khusus. Perpustakaan perlu melakukan evaluasi koleksi secara periodik dan sistematik untuk memastikan bahwa koleksi itu mengikuti perubahan yang terjadi, dan perkembangan kebutuhan dari komunitas yang dilayani.

Perpustakaan sebagai unit pemberi jasa/layanan selalu menaruh perhatian pada pengukuran kinerja dalam memenuhi kebutuhan para penggunanya, dan meyakinkan diri bahwa berbagai sumber daya yang dipilih bermanfaat bagi konsumennya. Akhir­-akhir ini minat untuk pengukuran kinerja semakin menguat. Hal itu sebagian disebabkan oleh tekanan untuk lebih memanfaatkan sumber daya dengan lebih efisien, bersarnaan dengan perhatian pada pemenuhan kebutuhan pengguna dengan lebih efektif. Disamping itu juga adanya tekanan dari pihak penyandang dana untuk memanfaatkan dana secara optimum, pada waktu yang sama pengguna dari jasa-jasa perpustakaan semakin tinggi tuntutannya. Setiap penilaian pada koleksi seharusnya memasukkan sebuah petimbangan pada seberapa baiknya koleksi itu memenuhi harapan dan kebutuhan pengguna.

B. Mengapa Evaluasi Koleksi Perlu Dilakukan?

Sebuah perpustakaan seringkali menghadapi berbagai pertanyaan baik dari organisasi induk maupun dari komunitasnya. Beberapa pertanyaan yang timbul, antara lain:

  • Apakah kekuatan dari koleksi perpustakaan itu?
  • Seberapa efektif perpustakaan memanfaatkan dana pengembangan koleksi?
  • Seberapa besar manfaat koleksi terhadap komunitas yang dilayani?
  • Bagaimana keadaan koleksi perpustakaan itu dibandingkan dengan koleksi perpustakaan yang setara?

Begitu juga dengan segala sesuatu yang telah kita putuskan perlu ditinjau kembali, apakah sudah mencapai tujuan yang telah ditentukan atau belum. Demikian pula halnya dengan koleksi perpustakaan. Bila perpustakaan telah membuat suatu kebijakan pengembangan koleksi, kemudian telah melakukan pembelian bahan pustaka serta mengembangkan koleksinya, seringkali timbul pertanyaan apakah koleksi yang dibeli tersebut sesuai dengan standar tertentu? Ada beberapa pedoman standar untuk perpustakaan umum, perpustakaan sekolah, dan juga perpustakaan perguruan tinggi yang dapat digunakan untuk suatu evaluasi koleksi.

Itulah sebagian dari pertanyaan yang bisa dijawab melalui program penilaian evaluasi koleksi. Evaluasi melengkapi siklus pembangunan koleksi dan membawa kembali pada kegiatan kajian kebutuhan informasi pengguna. Siklus pembangunan koleksi di perpustakaan secara lengkap dimulai dari seleksi (dengan memperhatikan dokumen "Kebijakan Pengembangan Koleksi"), pengadaan (termasuk proses pembelian, penerimaan, inventarisasi, penempelan barcode untuk sistem yang terkomputerisasi), katalogisasi dan klasifikasi (termasuk entri data katalog ke komputer untuk sistem yang telah terkomputerisasi), pascakatalogisasi (penempelan label nomor panggil, slip tanggal kembali, kartu buku dan kantong buku untuk sistem yang masih manual), dilanjutkan dengan layanan sirkulasi dan referensi, kemudian dilakukan CREW (Continues Review, Evaluation, and Weeding), istilah yang diperkenalkan oleh Moore, dengan memperhatikan hasil kajian kebutuhan pengguna. Hasil dari proses CREW ini akan memberikan masukan pada dokumen "Kebijakan Pengembangan Koleksi", dan seterusnya. Makalah ini hanya membahas masalah evaluasi koleksi, karena pokok bahasan lain sudah sering dibahas di berbagai tulisan.

Walaupun istilah evaluasi mempunyai beberapa definisi, ada unsur yang umum dari semua definisi itu terkait pada penentuan sebuah nilai atau harga pada sebuah objek atau kegiatan. Evaluasi koleksi melibatkan baik objek rnaupun kegiatan, begitu juga dengan nilai kuantitatif dan kualitatif. Dasar-dasar evaluasi tidak berubah dari waktu ke waktu, namun penerapan dasar-dasar tersebut semakin canggih dari tahun ke tahun. Pemanfaatan komputer memungkinkan untuk menangani data yang lebih banyak, dan lebih beragam. Beberapa institusi di negara maju menawarkan pangkalan data bibliografi dalam bentuk CD-ROM untuk penilaian dan perbandingan koleksi.

Perpustakaan, seperti juga organisasi lainnya, ingin mengetahui keadaan mereka dibandingkan dengan organisasi yang sama. Data perbandingan dapat bermanfaat, tetapi bisa juga menyesatkan. Dalam membandingkan sebuah perpustakaan dengan perpustakaan lain harus diperhatikan apakah berbagai aspek yang melatarbelakangi data yang diperbandingkan itu sudah sama? Sebagai contoh, sebuah perpustakaan yang kecil tidak bisa dibandingkan dengan perpustakaan lain yang besar. Tentunya akan banyak hal yang berbeda. Misalkan sebuah perpustakaan A mempunyai koleksi 120.000 judul buku, sedangkan perpustakaan B mempunyai koleksi 50.000 judul buku. Dengan data yang demikian itu tidak bisa langsung mengatakan bahwa perpustakaan A lebih baik dari B.

Bila diteliti lebih lanjut, pengguna yang harus dilayani perpustakaan A ada 20.000 orang dan pengguna yang harus dilayani perpustakaan B ada 1500 orang. Itupun harus diteliti lebih lanjut, apakah koleksi yang tersedia itu merupakan koleksi yang sesuai dengan kebutuhan penggunanya? Bisa terjadi koleksi yang kelihatannya begitu besar bagi kedua perpustakaan itu, ternyata dipenuhi buku-buku lama yang tidak terpakai oleh penggunanya. Walapun demikian membandingkan data antar perpustakaan itu menarik dan bisa membantu dalam mengevaluasi sebuah perpustakaan, hanya diperlukan data yang lengkap dan harus jeli dalam menganalisis semua data.

Evaluasi koleksi adalah kegiatan menilai koleksi perpustakaan baik dari segi ketersediaan koleksi itu bagi pengguna maupun pemanfaatan koleksi itu oleh pengguna.

Tujuan dari evaluasi koleksi pada perpustakaan perguruan tinggi menurut dokumen "Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi" (2005) adalah:

1. mengetahui mutu, lingkup, dan kedalaman koleksi
2. menyesuaikan koleksi dengan tujuan dan program perguruan tinggi
3. mengikuti perubahan, perkembangan sosial budaya, ilmu dan teknologi
4. meningkatkan nilai informasi
5. mengetahui kekuatan dan kelemahan koleksi
6. menyesuaikan kebijakan penyiangan koleksi.

Walaupun tujuan yang disebutkan di atas untuk perpustakaan perguruan tinggi, namun materi tersebut bisa digunakan untuk perpustakaanjenis yang lain.

Ada banyak kriteria untuk penentuan nilai dari sebuah buku atau keseluruhan koleksi, sebagai contoh: secara ekonomi, moral, keagamaan, estetika, intelektual, pendidikan, politis, dan sosial. Nilai sebuah benda atau koleksi berfluktuasi tergantung pada ukuran mana yang digunakan. Mengkombinasikan beberapa ukuran adalah efektif sepanjang ada kesepakatan menyangkut bobot relatifnya. Banyak faktor-faktor subjektif berlaku dalam proses evaluasi yang harus dilalui sebelum mulai melaksanakan proses tersebut. Satu keuntungan bila sudah ditentukan tujuan dan kriteria nilai-nilai sebelumnya, sehingga interpretasi hasil bisa dilakukan dengan lebih mudah. Hal itu juga akan membantu memperkecil perbedaan dalam pemikiran tentang hasil-hasil.

Perpustakaan melakukan evaluasi untuk beberapa alasan, seperti:

  • Untuk mengembangkan program pengadaan yang cerdas dan realistis berdasarkan pada data koleksi yang sudah ada
  • Untuk menjadi bahan pertimbangan pengajuan anggaran untuk pengadaan koleksi berikutnya
  • Untuk menambah pengetahuan staf pengembangan koleksi terhadap keadaan koleksi


c. Metode Evaluasi

Pokok bahasan berikut ini adalah beberapa metode dalam evaluasi. Berbagai metode evaluasi koleksi telah dibahas dalam berbagai tulisan, untuk memilihnya tergantung pada tujuan dan kedalaman dari proses evaluasi. George Bonn (dalam Evans, 2000) memberikan lima pendekatan umum terhadap evaluasi, yaitu:

1. Pengumpulan data statistik semua koleksi yang dimiliki
2. Pengecekan pada daftar standar seperti katalog dan bibliografi
3. Pengumpulan pendapat dari pengguna yang biasa datang ke perpustakaan
4. Pemeriksaan koleksi langsung
5. Penerapan standar, pembuatan daftar kemampuan perpustakaan dalam penyampaian dokumen, dan pencatatan manfaat relatif dari kelompok khusus.

Kebanyakan metode yang dikembangkan akhir-akhir ini mengambil teknik­-teknik statistik. Beberapa standar dan pedoman dari asosiasi profesional dan badan­-badan akreditasi menggunakan pendekatan dan formula-formula statistik yang memberikan kepada pelaksana evaluasi beberapa indikator kuantitatif dalam melakukan penilaian. Berbagai standar, daftar pencocokan (checklist), katalog, dan bibliografi adalah beberapa sarana lain bagi pelaksana evaluasi.

Pedoman untuk mengevaluasi koleksi perpustakaan yang dikeluarkan oleh American Library Association (ALA's Guide to the Evaluation of Library Collections) membagi metode kedalam ukuran-ukuran terpusat pada koleksi dan ukuran-ukuran terpusat pada penggunaan. Dalam setiap kategori ada sejumlah metode evaluasi khusus.
Pedoman itu meringkas sebagian besar teknik-teknik yang digunakan sekarang ini untuk mengevaluasi koleksi. Metode tersebut difokuskan untuk sumber daya tercetak, tetapi ada unsur-unsur yang dapat digunakan dalam evaluasi sumber daya elektronik. Ada pun metode itu adalah:

1. Metode Terpusat pada Koleksi

Pada metode ini terdapat beberapa cara untuk melakukan evaluasi koleksi, yaitu:
· Pencocokan terhadap daftar tertentu, bibliografi, atau katalog
· Penilaian dari pakar
· perbandingan data statistik
· Perbandingan pada berbagai standar koleksi

2. Metode Terpusat pada Penggunaan

Pada metode ini terdapat beberapa cara untuk melakukan evaluasi koleksi, yaitu:
· Melakukan kajian sirkulasi
· Meminta pendapat pengguna
· Menganalisis statistik pinjam antar perpustakaan
· Melakukan kajian sitiran
· Melakukan kajian penggunaan di tempat (ruang baca)
· Memeriksa ketersediaan koleksi di rak
Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan. Seringkali yang terbaik adalah menggunakan beberapa metode yang saling dapat menutupi kelemahannya. Di bawah ini akan dibahas secara ringkas berbagai metode tersebut.

1. Metode Terpusat pada Koleksi Pencocokan pada Daftar

Metode dengan menggunakan daftar pencocokan (checklist) merupakan cara lama yang telah digunakan oleh para pelaku evaluasi. Metode ini dapat digunakan dengan berbagai tujuan, baik dengan satu metode ini saja maupun dikombinasikan dengan teknik yang lain, biasanya menghasilkan data numerik seperti: "perpustakaan A mempunyai x % dari buku-buku yang ada di daftar itu". Jadi pelaku evaluasi mencocokkan antara koleksi yang dimiliki sebuah perpustakaan dengan bibliografi yang standar. Beberapa contoh bibliografi yang standar adalah: Books for College Libraries, Business Journals of the United States, Public Library Catalog, Guide to Reference Books, Best Books for Junior High Readers (standar ini banyak dikeluarkan oleh American Library Association) dan Core Lists untuk berbagai subjek tertentu (dikumpulkan oleh Association of College and Research Libraries, Amerika Serikat). Untuk terbitan dari Indonesia belum ada, karena membuat dokumen seperti itu membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang sangat besar.

Bila bibliografi standar tidak dimiliki, pelaku evaluasi bisa mengundang beberapa pakar dalam subjek yang akan dievaluasi. Pakar tersebut diminta untuk melihat beberapa bibliografi dalam subjek keahliannya dan menentukan bibliografi yang bisa dijadikan dasar untuk mengevaluasi koleksi dalam subjek itu. Disarankan koleksi perpustakaan dievaluasi sesering mungkin terhadap bibliografi yang standar, agar mutu koleksi itu tetap terjaga. Semakin tinggi persentase kecocokan antara koleksi dengan bibliografi standar untuk subjek tertentu, semakin baik. Asosiasi profesi di negara-­ngara maju biasa mengeluarkan daftar publikasi terbaik pada tahun itu (the best-of-the­ year list), yang bisa dijadikan standar untuk mengetahui publikasi yang bermutu untuk bidang ilmu profesi tersebut. Jadi banyak sekali sumber yang bisa dirujuk untuk mengetahui koleksi yang seharusnya dimiliki oleh sebuah perpustakaan.

Evaluasi koleksi menggunakan bibiografi sebagai daftar pencocokan dilakukan pertama kali pada tahun 1933 oleh pustakawan di perpustakaan University of Chicago. Pada saat itu mereka menggunakan 300 bibliografi untuk mencocokkan seluruh koleksi yang ada di perpustakaan, dalam rangka penentuan kebutuhan pengguna di masa depan.
Untuk melakukan evaluasi koleksi, berbagai daftar pencocokan bisa digunakan. Terkait masalah banyaknya daftar yang akan digunakan tergantung pada ketersediaan waktu untuk melakukan evaluasi, karena jelas semakin banyak daftar yang akan dicocokkan semakin banyak waktu dibutuhkan untuk melakukannya. Namun terlalu sedikit daftar yang digunakan untuk evaluasi koleksi juga memberikan hasil yang kurang baik.

Memang dengan adanya data katalog di komputer, OPAC (Online Public Access Catalog), akan sangat mempercepat proses pencocokan koleksi dengan daftar. Perlu juga diteliti apakah publikasi yang didaftar pada daftar pencocokan (checklist) itu sesuai dengan tujuan dari perpustakaan. Bisa saja daftar itu memang tidak sesuai dengan koleksi yang harus dibina di perpustakaan itu. Di negara maju seperti Amerika Serikat dimana pangkalan data dari jaringan berbagai perpustakaan banyak tersedia, mereka membuat bibliografi khusus yang memang diperuntukkan sebagai sarana untuk evaluasi koleksi. Bibliografi yang dibuat khusus itu lebih tepat untuk sarana evaluasi koleksi.
Ada beberapa kelemahan dalam teknik pencocokan pada daftar untuk evaluasi koleksi, yaitu:

· Pemilihan judul untuk penggunaan yang khusus, tidak berlaku umum.
· Hampir semua daftar selektif dan bisa saja mengabaikan banyak judul-judul publikasi yang bermutu
· Banyak judul yang tidak sesuai untuk sebuah komunitas perpustakaan yang khusus
· Daftar-daftar itu mungkin saja sudah kedaluwarsa
· Sebuah perpustakaan mungkin saja mempunyai banyak judul yang tidak tercantum pada daftar pencocokan, namun publikasi itu sarna baiknya dengan yang ada di daftar
· Daftar pencocokan tidak memasukkan materi yang khusus yang sangat penting bagi sebuah perpustakaan tertentu
· Tidak ada salahnya memiliki publikasi yang kurang bermutu

Untuk menjawab berbagai kritik tersebut, daftar pencocokan seharusnya mendaftar semua bahan pustaka untuk semua perpustakaan. Hanya perlu diingat bahwa tidak semua bahan pustaka mempunyai nilai yang sama, atau sama bergunanya untuk sebuah perpustakaan tertentu. Banyak buku-buku lama yang masih sangat berguna bagi pembaca, namun daftar pencocokan yang sudah kedaluwarsa sangat kecil kemungkinannya untuk bermanfaat sebagai sarana untuk mengevaluasi koleksi perpustakaan.

Hasil pencocokan terhadap sebuah daftar menunjukkan persentase buku-buku dari daftar yang ada dalam koleksi. Tetapi tidak ada standar berapa persen dari daftar pencocokan yang harus ada dalarn koleksi sebuah perpustakaan. Misalkan sebuah perpustakaan memiliki 53% dari buku-buku yang ada pada sebuah daftar pencocokan. Apakah nilai itu sudah memadai, apakah penting untuk memiliki semua buku yang ada di daftar? Membandingkan angka persentase dari daftar untuk kepemilikan sebuah perpustakaan dengan perpustakaan lain kecil manfaatnya, kecuali kedua perpustakaan itu mempunyai populasi yang dilayani yang sarna. Kelemahan teknik pencocokan pada daftar untuk evaluasi koleksi masih terus didiskusikan, namun tetap saja teknik ini bermanfaat bagi perpustakaan dalam mengevaluasi koleksi.

Sayang sekali di Indonesia belum memiliki pangkalan data jaringan perpustakaan yang secara resmi bekerja sama atau bibliografi yang dibuat khusus untuk evaluasi koleksi. Ada juga beberapa pustakawan yang mengumpulkan data katalog dari berbagai perpustakaan, namun data itu merupakan hasil usaha perorangan dan tidak ada kepastian perbaharuan data secara berkala. Salah satu jalan keluarnya, seorang pustakawan dari perpustakaan sejenis menanyakan buku-buku atau jurnal yang seharusnya dimiliki kepada perpustakaan lain yang sudah diketahui umum bahwa badan induknya merupakan sebuah institusi yang bermutu dalarn bidang subjek tertentu. Sebagai contoh, Institut Pertanian Bogor (IPB) sudah diketahui di Indonesia sebagai perguruan tinggi terpercaya dalam bidang pertanian. Bisa terjadi seorang pustakawan dari Fakultas Pertanian universitas lain bertanya kepada pustakawan di IPB buku-buku yang menjadi buku wajib dalam kurikulum di IPB dan jurnal utama yang dilanggan di Perpustakaan IPB. Perbandingan itu bisa dilakukan bila kedua perpustakaan itu sama-­sama perpustakaan perguruan tinggi.

Penilaian Pakar

Metode ini tergantung pada keahlian seseorang untuk melakukan penilaian dan penguasaan terhadap subjek yang dinilai. Dalam metode ini pemeriksaan terhadap koleksi dalam hubungannya dengan kebijakan dan tujuan perpustakaan, dan seberapa baiknya koleksi itu memenuhi tujuan perpustakaan. Prosesnya bisa memerlukan peninjauan terhadap keseluruhan koleksi menggunakan daftar pengrakan (shelflist), bisa terbatas hanya pada satu subjek, itu yang sering terjadi, tetapi bisa juga mencakup berbagai subjek tergantung pada penguasaan pakar tersebut terhadap subjek yang akan dievaluasi. Biasanya metode ini berfokus pada penilaian terhadap kualitas seperti kedalaman koleksi, kegunaannya terkait dengan kurikulum atau penelitian, serta kekurangan dan kekuatan koleksi.

Teknik mengandalkan pada penilaian seorang pakar ini jarang digunakan tanpa dikombinasikan dengan teknik lain. Sering kali pelaku evaluasi yang menggunakan teknik ini merasa tidak cukup bila hanya melihat keadaan di rak. Mereka merasa perlu untuk mendapatkan kesan dari komunitas yang dilayani. Pengumpulan pandangan dari berbagai pengguna bisa dianggap mewakili pandangan komunitas. Dengan dernikian pengguna didorong untuk terlibat dalam proses evaluasi koleksi.

Perbandingan Data Statistik

Perbandingan diantara institusi bermanfaat untuk data evaluasi. Namun ada keterbatasan disebabkan oleh perbedaan institusional dalam tujuan, program-program, dan populasi yang dilayani. Sebagai contoh, perpustakaan yang ada di sebuah sekolah tinggi untuk bidang ilmu tertentu, misalkan ilmu ekonomi, tentunya berbeda dengan perpustakaan yang ada di sebuah universitas yang mempunyai banyak fakultas dengan berbagai bidang ilmu. Dengan hanya menyatakan jumlah koleksi secara kuantitatif, sulit untuk dapat menyatakan kecukupan dari koleksi sebuah perpustakaan. Jumlah judul atau eksemplar saja tidak dapat dijadikan ukuran untuk melihat pertumbuhan koleksi. Tetapi dirasakan penting untuk mengembangkan pendekatan kuantitatif untuk mengevaluasi koleksi yang berguna untuk pengambilan keputusan, tetap dengan cara yang sederhana.

Dengan dimanfaatkannya komputer untuk menyimpan data bibliografi bahan pustaka telah menciptakan sarana evaluasi yang sangat berguna. Di Amerika Serikat sebuah pangkalan data yang meliputi koleksi berbagai perpustakaan yang tergabung dalam sebuah jaringan bernama Washington Library Network (WLN) merupakan sarana evaluasi koleksi yang banyak digunakan. Sebuah perpustakaan bisa membandingkan koleksi yang dimiliki dengan koleksi perpustakaan lain yang tergabung dalam jaringan WLN. Berhubung banyak perpustakaan di Amerika Serikat menggunakan standar klasifikasi Library of Congress, untuk membandingkan koleksi sebuah perpustakaan dengan data yang ada di WLN, data statistik koleksi dibandingkan berdasarkan nomor klasifikasi Library of Congress. Dengan menggunakan pangkalan data jaringan WLN bisa diperoleh data seperti jumlah judul buku yang ada di koleksi sebuah perpustakaan untuk setiap nomor klasifikasi dibandingkan dengan koleksi perpustakaan lain, jumlah judul buku yang hanya dimiliki oleh sebuah perpustakaan untuk setiap nomor klasifikasi, dan berapa jumlah judul buku yang sarna yang ada di koleksi berbagai perpustakaan lain untuk setiap nomor klasifikasi, serta berbagai perbandingan data stastistik koleksi lainnya.

Perbandingan dengan Berbagai Standar Koleksi

Tersedia berbagai standar yang diterbitkan untuk hampir setiap jenis perpustakaan. Standar itu memuat semua aspek dari perpustakaan, termasuk mengenai koleksi. Standar itu ada yang menggunakan pendekatan kuantitatif, ada pula yang menggunakan pendekatan kualitatif Contoh dari standar adalah Standards for College Libraries, antara lain memuat informasi mengenai cara untuk menentukan tingkatan kelas sebuah perpustakaan dalam ukuran koleksi berdasarkan persentase koleksi yang dimiliki dibandingkan dengan ukuran yang ideal. Bila ukuran koleksi sebuah perpustakaan sama atau melebihi dari yang ideal, maka perpustakaan itu mendapat kelas A. Untuk perpustakaan yang ukuran koleksinya di bawah yang ideal mendapat kelas di bawah A. Sebuah contoh standar yang lain, Books for College Libraries menyatakan bahwa sebuah perpustakaan perguruan tinggi yang mempunyai program pendidikan sarjana empat tahun seharusnya mempunyai koleksi minimum 150.000 eksemplar, 20% diantaranya seharusnya terbitan berkala yang sudah dijilid dan sisanya 80% adalah judul-judul monograf

2. Metode Terpusat pada Penggunaan

Melakukan Kajian Sirkulasi

Pengkajian pola penggunaan koleksi sebagai sarana untuk mengevaluasi koleksi semakin populer. Dua asumsi dasar dalam kajian pengguna/penggunaan adalah:
1) kecukupan koleksi buku terkait langsung dengan pemanfaatannya oleh pengguna
2) statistik sirkulasi memberikan gambaran yang layak mewakili penggunaan koleksi

Dengan digunakannya komputer dalam melaksanakan transaksi peminjaman, maka semakin mudah untuk memantau data sirkulasi.

Ada masalah dengan data sirkulasi dikaitkan dengan nilai koleksi, karena data itu tidak termasuk data koleksi yang dibaca di dalam perpustakaan. Beberapa jenis koleksi seperti referens dan jurnal biasanya tidak dipinjarnkan. Jadi data sirkulasi belum mewakili keseluruhan data pemanfaatan koleksi.

Meminta Pendapat Pengguna

Survei untuk mendapatkan data persepsi pengguna tentang kecukupan koleksi baik secara kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu data yang sangat berguna dalam program evaluasi koleksi. Hanya perlu diperhatikan keobjektifan dari pengguna dalam menilai kecukupan koleksi dalam memenuhi kebutuhannya. Jangan sampai ketidaktahuan pengguna dalam mencari informasi di perpustakaan mengakibatkan penilaian kurangnya koleksi untuk memenuhi kebutuhan akan informasinya. Begitu juga dengan lemahnya sistem temu kembali bisa mengakibatkan seolah-olah koleksi perpustakaan itu tidak bisa memenuhi kebutuhan pengguna. Perlu juga diketahui latar belakang pengguna mengapa seseorang mengatakan positif atau negatif tentang koleksi. Tentunya pengguna yang sudah sering menggunakan perpustakaan akan memberikan pendapat yang lebih objektif dibandingkan dengan pengguna yang baru atau bahkan tidak pemah menggunakan perpustakaan. Namun demikian bukan berarti bahwa pengguna atau calon pengguna yang demikian pendapatnya tidak perlu didengar. Penentuan responden secara acak tentunya akan memasukkan semua unsur dalam populasi pengguna, termasuk pengguna potensial (belum menjadi pengguna). Perlu juga ada pertanyaan bagi pengguna potensial mengapa mereka tidak menjadi pengguna perpustakaan, apakah karena koleksinya tidak memenuhi kebutuhan mereka, ataukah karena mereka tidak mengetahui apa yang ada di koleksi perpustakaan? Dengan demikian yang menjadi masalah bukanlah koleksinya, tetapi masalah promosi perpustakaan. Semua itu harus menjadi masukan bagi evaluasi koleksi. Penentuan pertanyaan yang jeli akan menghasilkan kesimpulan yang lebih akurat, menghilangkan kemungkinan kesimpulan yang menyesatkan.

Menganalisis Statistik Pinjam Antar Perpustakaan (Pemanfaatan Perpustakaan Lain)

Bila pengguna sebuah perpustakaan banyak menggunakan perpustakaan lain bisa jadi ada masalah dengan koleksi perpustakaan itu. Namun bisa juga ada hal lain yang menyebabkan penggunanya lebih suka menggunakan perpustakaan lain seperti petugas di perpustakaan lain lebih ramah, pelayanannya lebih baik, keadaan perpustakaannya lebih nyaman, lebih mudah dan cepat menemukan buku di rak, lebih dekat dengan rumah atau kantornya, jam bukanya lebih sesuai dengan waktu yang dimiliki, tempat parkir mobilnya lebih mudah dan aman, dan berbagai alasan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan kecukupan koleksi. Tetapi tetap saja ada kemungkinan bahwa sumber dari semua masalah adalah koleksi yang tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna Pustakawan harus mencari informasi mengapa hal itu terjadi dan alasan utama terjadinya penggunaan perpustakaan lain oleh komunitasnya.

Pustakawan pengembangan koleksi juga harus secara berkala memeriksa data pinjam antar perpustakaan, bila pelayanan itu ada. Bila ada buku atau jurnal yang tidak dimiliki perpustakaan, tetapi sering diminta melalui pinjam antar perpustakaan, berarti buku atau jurnal itu mempunyai peminat yang tinggi, sehingga sewajarnya bila buku atau jurnal itu dimiliki oleh perpustakaan. Bila buku atau jurnal itu sudah ada di koleksi, tetapi juga banyak diminta melalui pinjam antar perpustakaan, berarti diperlukan duplikat yang lebih banyak untuk buku tersebut. Untuk jurnal yang biasanya sangat mahal harga berlangganannya, perlu dipikirkan bagaimana sistem baca di tempat yang lebih memberikan kesempatan yang merata kepada pengguna.

Melakukan Kajian Sitiran

Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi koleksi perpustakaan perguruan tinggi dan khusus dengan menggunakan sejumlah contoh dari publikasi penelitian yang sesuai dengan tujuan perpustakaan. Sebagai contoh di perpustakaan perguruan tinggi yang mempunyai program doktor dapat menggunakan disertasi sebagai bahan untuk kajian sitiran. Disertasi merupakan dokumen yang mempunyai nilai paling tinggi dalam perjalanan pendidikan seseorang, dengan demikian bahan pustaka yang dirujuk dalam disertasi dianggap sangat bernilai bagi penulisan disertasi itu, sehingga sangat beralasan untuk dijadikan sarana mengevaluasi koleksi. Kajian sitiran dilakukan dengan mencatat semua bahan pustaka yang dijadikan daftar pustaka pada sejumlah disertasi yang terpilih sebagai contoh. Data itu kemudian dicocokkan dengan data katalog, maka akan diketahui berapa persen dari bahan pustaka yang dirujuk disertasi ada di koleksi perpustakaan. Bila persentase itu kecil berarti koleksi perpustakaan tidak cukup untuk mendukung program doktor yang ada di perguruan tinggi itu. Dapat dikatakan bahwa para mahasiswa program doktor itu lebih banyak menggunakan perpustakaan di luar perpustakaan perguruan tinggi tersebut.

Kajian sitiran tidak terlalu sulit dilakukan, hanya memerlukan ketekunan dan kecermatan yang tinggi, serta jelas menyita waktu yang cukup banyak. Hasil kajian sitiran sebenarnya tidak hanya memberikan data persentase koleksi yang dirujuk, tetapi juga jenis koleksi apa yang banyak digunakan, selang tahun publikasi yang dirujuk, bahkan sampai kepada judul jurnal yang paling banyak dirujuk untuk setiap bidang ilmu dari disertasi tersebut.

Melakukan Kajian Penggunaan Di Tempat (Ruang Baca)

Melengkapi data yang diperoleh pada kajian sirkulasi, kajian terhadap buku dan jurnal yang dibaca di tempat/rnang baca perlu dilakukan. Kajian dapat dilakukan dengan menghitung buku dan jurnal yang ada di meja baca setelah selesai dibaca pengguna pada kurun waktu tertentu. Idealnya buku dan jurnal yang telah selesai dibaca itu dihitung seluruhnya sepanjang tahun. Namun pelaksanaan penghitungan itu akan menghabiskan waktu dan tenaga pustakawan. Oleh karena itu penghitungan dilakukan dengan pengambilan contoh pada waktu-waktu tertentu dan sepanjang kurun waktu tertentu pula. Misalkan ditetapkan pengambilan contoh akan dilakukan untuk kurun waktu tiga bulan, dan dalam satu minggu pengambilan contoh dilakukan selama tiga hari, serta pencatatan dilakukan setiap dua jam.

Pengumpulan data dilakukan dengan menugaskan satu orang atau lebih petugas untuk mencatat banyaknya buku yang dibaca di ruang baca. Minggu pertama dipilih hari Senin, Selasa, dan Rabu petugas mencatat buku-buku yang dibaca pengguna setiap dua jam. Minggu berikutnya dipilih hari Kamis, Jum'at, dan Sabtu untuk melakukan pencatatan buku yang dibaca setiap dua jam, terus berlanjut sampai tiga bulan. Semua data terkumpul itu dijumlahkan, hanya karena pengambilan data dilakukan hanya setengah minggu, jadj untuk mengetahui jumlah data buku yang dibaca di tempat selama tiga bulan angka hasil penjumlahan itu dikalikan dua. Bila ingin dinyatakan data per tahun, maka data jumlah buku yang dibaca di tempat selama tiga bulan tinggal dikalikan empat. Dalam pengumpulan data perlu dipikirkan masa sepi dan ramainya pengguna yang menggunakan perpustakaan. Masa pengambilan data harus mewakili kedua macam pola penggunaan perpustakaan, karena bila data diambil hanya pada masa-masa tingginya penggunaan perpustakaan, angka yang diperoleh akan lebih tinggi dari yang seharusnya. Sebaliknya bila pengumpulan data dilakukan pada masa-masa rendahnya penggunaan perpustakaan, maka angka yang diperoleh akan lebih rendah dari angka yang seharusnya.

Karena tujuan pengumpulan data ini adalah untuk mengevaluasi koleksi, maka tidak cukup hanya mengetahui jumlah buku yang dibaca di tempat. Lebih rinci lagi, mungkin perlu diketahui jumlah buku yang dibaca di tempat berdasarkan nomor klasifikasi. Petugas pengumpul data perlu dibekali tabel yang telah dibagi kolom­-kolomnya menurut nomor kelas dari 0 - 9. Dengan demikian bisa diketahui nomor kelas besar yang mana yang paling banyak digunakan, dan nomor kelas mana yang paling rendah digunakan. Tingginya penggunaan untuk buku-buku kelompok kelas tertentu bisa berarti bahwa pengguna memang membutuhkan informasi dalam subjek itu dan buku-buku yang ada corok dengan kebutuhan pengguna. Sedangkan rendahnya penggunaan kelompok kelas tertentu bisa berarti pengguna kurang membutuhkan informasi untuk subjek tersebut, atau buku-buku yang ada dalam subjek itu tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna. Untuk itu diperlukan data pendapat dari pengguna mengenai koleksi untuk subjek itu.

Untuk mengevaluasi jurnal yang dibaca di tempat diperlukan data judul jurnal yang dibaca oleh pengguna, tidak cukup hanya jumlah nomor jurnal yang dibaca. Bisa terjadi juga jurnal yang banyak dibutuhkan pengguna bahkan tidak dimiliki perpustakaan. Data dari survei kebutuhan pengguna sangat dibutuhkan untuk mengetahui kebutuhan jurnal oleh pengguna perpustakaan.

Memeriksa Ketersediaan Koleksi di Rak

Pustakawan perlu melakukan pengumpulan data mengenai ketersediaan koleksi di rak pada kurun waktu tertentu. Maksud dari pengumpulan data ini untuk mengetahui seberapa tinggi bahan pustaka yang dicari pengguna tersedia di rak koleksi. Bila persentase penemuan tinggi, bisa berarti bahwa koleksi sudah sesuai dengan kebutuhan pengguna. Bila persentase ketidaktersediaan bahan pustaka yang dieari tinggi, ada dua kemugkinannya. Pertama, bahan pustaka itu dimiliki oleh perpustakaan tetapi sedang dipinjam atau dibaca oleh pengguna lain, artinya perpustakaan perlu menambah duplikat bahan pustaka itu. Kedua, bahan pustaka yang dicari memang tidak dimiliki perpustakaan, artinya bila sesuai dengan Kebijakan Pengembangan Koleksi maka bahan pustaka itu perlu diadakan.

Untuk pengumpulan data ini diperlukan petugas khusus untuk melakukannya. Cara pengumpulan data bisa dilakukan seperti yang dilakukan untuk kajian penggunaan koleksi di tempat. Namun untuk mendapatkan data judul-judul bahan pustaka yang banyak diperlukan tetapi belum tersedia di rak bisa dilakukan secara terus menerus sepanjang tahun. Pengguna diminta untuk menuliskan judul tersebut pada sehelai daftar isian yang akan dikaji oleh pustakawan pengembangan koleksi untuk keputusan pembeliannya.

Evaluasi Terbitan Berkala

Untuk mengevaluasi terbitan berkala, selain menggunakan metode yang telah disebutkan di atas yang berlaku umum, ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan. Perbedaan ini disebabkan oleh sifat terbitnya yang berbeda dari jenis-jenis bahan pustaka yang lain. Proses evaluasi pada terbitan berkala mencakup:

a) apakah akan melanjutkan atau menghentikan langganan terhadap sebuah judul terbitan berkala
b) apakah akan menambah langganan terhadap sebuah judul terbitan berkala yang belum dimiliki

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah:

· apakah judul itu termasuk dalam banyak jurnal/database indeks/abstrak?
· apakah judul itu sangat relevan dengan kebutuhan pengguna?
· bagaimana ruang lingkup dan isi dari judul itu?
· seberapa tinggi penggooaan judul itu, didukung dengan data penggooaan di perpustakaan dan permintaan silang layan?
· apakah kualitas terbitan berseri itu baik?
· apakah harga langganan judul itu wajar?
· apakah bahasa dan dari negara manakah judul itu?
· apakah judul itu merupakan salah satu judul yang terkait dengan kerjasama pengadaan dengan perpustakaan lain?

D. Penutup

Bila evaluasi koleksi ini ingin dilakukan secara objektif, maka diperlukan serangkaian riset untuk mendukung pengambilan keputusan. Diakui bahwa tugas evaluasi koleksi itu sulit, dan sering kali hasilnya itu subjektif. Jadi seorang pelaksana evaluasi koleksi harus bisa menyatakan apa adanya tentang koleksi. Metode evaluasi koleksi yang tersedia tidak ada yang sempurna untuk dapat digunakan secara tunggal. Oleh karena itu disarankan menggunakan kombinasi beberapa metode, sehingga dapat saling menutupi kekurangan masing-masing metode. Langkah-langkah berikut ini disarankan untuk diambil dalam mengevaluasi koleksi:
1. Mengembangkan seperangkat kriteria ootuk standar nilai dan mutu.
2. Mengambil contoh secara acak dari koleksi dan memeriksa pemanfaatan buku itu.
3. Mengumpulkan data tentang judul-judul yang diinginkan pengguna tetapi tidak tersedia di koleksi perpustakaan.
4. Mengumpulkan datajudul-judul yang dibaca di tempat.
5. Mengumpulkan data dari aktivitas pinjam antar perpustakaan.
6. Mendata berapa banyak bahan pustaka yang usang yang ada dalam koleksi (sebagai contoh, bahan pustaka mengenai ilmu-ilmu dasar/murni yang telah berusia lebih dari 15 tahoo dan tidak termasuk dalam bahan pustaka yang klasik) .
7. Jika sebuah daftar pencocokan (checklist) terkait erat dengan kebutuhan perpustakaan, gunakan daftar itu, tetapi teliti juga apakah daftar itu memang bermanfaat untuk perpustakaan.
8. Kaitkan semua hasil-hasil itu dengan tujuan dan fungsi perpustakaan.
Melakukan evaluasi koleksi memang menyita banyak waktu, tetapi dari hasil evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan koleksi. Dengan data itu, maka staf pengembangan koleksi dapat memformulasikan kembali perencanaan untuk terus memelihara koleksi yang kuat dan memperbaiki koleksi yang lemah. Semua aktivitas evaluasi ini tentunya harus sejalan dengan fungsi dan tujuan perpustakaan, serta kebutuhan komunitas. Bila evaluasi koleksi ini sudah dilakukan secara rutin, akan terasa semakin ringannya tugas ini, terlebih bila diingat bahwa proses ini akan membawa koleksi perpustakaan semakin dekat dengan kebutuhan komunitas yang dilayani.

Daftar Pustaka

_________, 2005. Perpustakaan Perguruan Tinggi : Buku Pedoman. ed. ke 3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI. Jakarta.

_________, Collection Evaluation and Weeding. Chapter 6. htto://www.emro.who.int/HIS/VHSL/ Doc/part2/CHAP6.pdf (diambil tgl. 29 September 2006).

Dickstein, Ruth dan Hovendick, Kelly Barrick. 2002. University of Arizona Women's Studies Collection Evaluation. http://oratt.edu/~johnso2/UArizcollectioneval.html (diambil tgl. 29 September 2006).

Evans, G. Edward and Zarnosky, Margaret R. 2000. Developing Library and Information Center Collections. Libraries Unlimited. Englewood, Colorado.

Jenkins, Clare and Morley, Mary (ed.). 1999. Collection Management in Academic Libraries.

Moore, Jo Anne. Guidelines for Collection Evaluation and Weeding. http://www.tea.state.tx.us/technology/libraries/lib_downloads/weedingl.pdf (diambil tgl. 29 September 2006) 2nd ed. Gower Publishing. Hampshire, England.

Sujana, Janti G. dan Yulia, Yuyu. 2006. Modul Pengembangan Koleksi. Universitas Terbuka. Jakarta.

Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Pustaka Utama. Jakarta.

Tuesday, August 22, 2006

SOLUSI PENGADAAN BAHAN PUSTAKA “MINIM DANA”

Oleh:
Noorika Retno Widuri, pustakawan

Koleksi perpustakaan merupakan sumber informasi yang tidak saja menggambarkan hasil karya manusia masa lampau dan masa sekarang, namun juga masa yang akan datang. Bila koleksi perpustakaan dikembangkan tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perpustakaan akan ditinggalkan penggunanya. Tiga pilar pokok perpustakaan adalah koleksi, sumber daya manusia(pustakawan) dan pelayanan. Sehingga ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Koleksi banyak tanpa ada pustakawan, mustahil perpustakaan itu akan berjalan. Pustakawan tanpa koleksi itu berarti tidur panjangnya sebuah perpustakaan, sebab tanpa koleksi tidak akan terjadi pelayanan bagi pengguna.
Masalah pengembangan koleksi di perpustakaan bukan rahasia umum. Tidak tersedianya dana yang memadai untuk membina koleksi bahan pustaka acapkali terjadi. Perpustakaan nyaris tidak mendapat porsi penting bagi unit kerja induk. Namun demikian perpustakaan tidak boleh berhenti sampai disitu. Pustakawan sebagai ujung tombak perpustakaan tidak boleh begitu saja menyerah dengan keadaan. Dalam kondisi demikian profesionalitas pustakawan menjadi taruhannya. Pustakawan harus bergerak dan berusaha mencari koleksi-koleksi yang memungkinkan dimiliki oleh perpustakaan.
Pengadaan bahan pustaka umumnya melalui pembelian, pertukaran(exchange) dan hadiah. Bagi perpustakaan yang miskin dana, pengadaan bahan pustaka melalui pembelian tentu tidak mungkin. Keadaan ini mendorong pustakawan untuk menetapkan prioritas bahan pustaka dan mencari alternative lain dalam mendapatkan bahan pustaka tanpa membeli.
Ada beberapa jalan yang dapat ditempuh agar koleksi bertambah antara lain dengan :
Pusat deposit --- salah satu fungsi perpustakaan merupakan tempat menyimpan hasil karya manusia. Hal ini bisa menjadikan alasan utama bahwa setiap publikasi di lingkungan kerja perpustakaan berkewajiban mendepositkan publikasinya di perpustakaan. Melalui pusat deposit, perpustakaan memungkinkan untuk mendapat tambahan bahan pustaka yang bersifat grey literature atau pustaka kelabu. Setiap unit kerja memiliki kekhasan tersendiri. Misalnya hasil seminar Madrasah, rapat kerja, dan hasil-hasil kegiatan unit kerja lainnya. Koleksi ini bisa didayagunakan bagi kepentingan masyarakat pengguna.
Menjalin kerja sama --- Perpustakaan menjalin kerjasama dengan perpustakaan-perpustakaan lain baik yang sejenis maupun tidak. Kerja sama antar perpustakaan bisa menjadi penengah dalam hal pengadaan koleksi, bilamana perpustakaan yang bekerja sama dengan kita memiliki koleksi yang jauh lebih baik. Peminjaman berjangka waktu, memberikan kesempatan kepada pengguna untuk memanfaatkan koleksi pinjaman sebaik-baiknya.
Tukar --- Bahan pustaka yang dipertukarkan dapat berupa (1)terbitan perpustakaan sendiri misalnya daftar tambahan pustaka, indeks artikel maupun bibliografi (2) publikasi/ terbitan dari unit kerja induk. Misalnya unit kerja induk telah memiliki jurnal yang layak untuk ditukar oleh bahan-bahan pustaka lain yang dimiliki unit kerja/instansi lain.
Hadiah ---Berbagai instansi pemerintah, yayasan, maupun LSM umumnya memiliki publikasi yang bisa diberikan cuma-cuma kepada perpustakaan. Pustakawan sebaiknya pro aktif dalam mencari unit kerja atau instansi atau LSM mana yang dapat menghadiahkan buku-bukunya bagi keperluan perpustakaan. Pendekatan antar unit kerja/instansi mutlak diperlukan, sebab dengan adanya surat resmi dari pejabat perpustakaan akan melancarkan jalan pustakawan dalam memperoleh koleksi cuma-cuma dari instansi yang dituju. Selain itu hadiah juga bisa diberikan bila perpustakaan yang bersangkutan memiliki banyak duplikasi terbitan. Melalui berita acara yang jelas, koleksi-koleksi duplikat ini bisa diberikan kepada perpustakaan lain yang membutuhkan. Demikian pula dengan koleksi yang tidak sesuai dengan subyek yang sesuai dengan perpustakaan. Pada umumnya mereka akan menyeleksi dan menawarkannya pada perpustakaan lain.
Penyiangan koleksi --- Beberapa perpustakaan memiliki kebijakan kegiatan penyiangan koleksi. Pustakawan hendaknya mencari tahu perpustakaan-perpustakaan mana yang akan menyiangi koleksi dan kemudian bisa dimanfaatkan oleh kita. Namun demikian perlu mempertimbangkan jenis koleksi yang sesuai dengan visi dan misi perpustakaan.
Koleksi pribadi ---Cara ini memerlukan pendekatan pribadi, sebab tidak semua kolektor buku akan melepas begitu saja bukunya untuk kepentingan perpustakaan. Kekhawatiran akan buku yang hilang sering kali terjadi. Pustakawan hendaknya meyakinkan kepada orang yang bersangkutan bahwa buku-buku tersebut tidak dipinjamkan atau hanya bisa dibaca ditempat.
Hunting di pameran buku dan bursa buku bekas --- pameran buku biasanya memberikan diskon besar-besaran, kesempatan ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi pengelola perpustakaan untuk memborong buku. Demikian pula dengan berburu buku-buku bekas. Buku-buku bekas, tidak selamanya buruk. Pengalaman penulis justru beberapa kali menemukan buku-buku berkualitas di pedagang buku bekas di pinggir-pinggir jalan.

MEMANFAATKAN TEKNOLOGI INFORMASI
Perkembangan teknologi informasi saat ini semakin tidak terbendung. Salah satunya adalah internet. Internet bukan merupakan hal asing bagi perkembangan dunia perpustakaan saat ini. Namun demikian tidak dipungkiri bahwa tidak semua perpustakaan memiliki fasilitas tersebut. Perpustakaan yang memiliki fasilitas internet bisa men-download artikel atau e-journal maupun e-book yang ada di internet. Tentunya yang ‘free’ atau gratis. Hasil download bisa disimpan dalam bentuk CD yang selain daya tampungnya lebih besar juga praktis karena tidak memakan tempat. Bagaimana bila tidak? Perpustakaan dapat menumpang pada bagian lain yang memilikinya, atau rental di warnet.
Melalui internet, pustakawan juga dapat bergabung dengan mengikuti komunitas di dunia maya atau milis. Melalui milis perpustakaan memiliki peluang untuk mendapatkan koleksi gratis. Beberapa komunitas di dunia maya memberikan kesempatan pada pustakawan untuk menjalin kerjasama dalam bidang apapun, termasuk keterbatasan koleksi.
Tulisan ini hanya bermaksud mengugah, membangunkan pustakawan agar tidak lagi pasif dan patah semangat dalam menghadapi persoalan yang menimpa unit kerja perpustakaan. Banyak terobosan-terobosan yang bisa dikerjakan pustakawan demi memberikan pelayanan terbaik bagi penggunanya. Perpustakaan harus unjuk gigi dulu, jerih payah yang telah kita upayakan pasti bisa mendatangkan hasil. Optimis bahwa usaha kita akan berhasil. Pustakawan merupakan pekerjaan mulia, sebab banyak kegiatan amal sholeh didalamnya. Bukan saja untuk kepentingan dunia, tapi untuk tabungan di akherat kelak.

Monday, July 31, 2006

PERAN IBU DALAM MENANAMKAN BUDAYA BACA DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA

Oleh
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.

Ketika saya kecil (paruh kedua tahun 1960an) Ibu selalu mendongeng untuk mengantarkan saya dan adik-adik tidur. Setiap hari dongengnya selalu berganti. Seakan-akan tak pernah habis. Mulai dari dongeng “kancil mencuri timun” dengan berbagai setting cerita, sampai pada “tikus desa berkunjung ke kota”. Ketika ibu kehabisan bahan untuk mendongeng, ibu akan membacakan cerita dari buku kumpulan dongeng anak-anak. Sesekali kami anak-anaknya bertanya bila ada kata-kata yang tidak kami mengerti. Dan Ibu dengan sabar menjelaskan kata-kata tersebut sampai kami mengerti. Begitulah kami belajar dan mengumpulkan kosa kata. Pada waktunya kosa kata tersebut akan keluar dalam bentuk komunikasi dengan teman-teman kami. Selain itu dongeng itu menjadikan hubungan batin kami anak-anaknya dengan Ibu sangat dekat. Sesudah kami lancar membaca, maka kami dapat membaca sendiri cerita dari buku-buku yang dipinjami Bapak dari perpustakaan sekolahnya. Kebetulan Bapak saya seorang kepala sekolah dasar suatu desa di Madura. Dan setiap waktu tertentu sekolah bapak mendapatkan kiriman buku-buku cerita dari pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kebiasaan membaca inilah kelak yang membantu saya menapaki hidup yang walaupun tidak berlebihan, namun tetap survive di tengah persaingan hidup yang sangat ketat.
Saat ini, mungkin karena kesulitan ekonomi yang tak kunjung mereda, ibu-ibu sudah jarang sekali mendongeng untuk anak-anaknya untuk mengantarkan tidur mereka. Ibu-ibu jaman sekarang harus bekerja untuk membantu meringankan beban keluarga. Mereka kelelahan sesudah seharian bekerja dengan gaji yang tidak pernah cukup untuk menopang kebutuhan keluarga. Tidak ada waktu lagi untuk sekedar bercanda ria dengan anak-anaknya. Apalagi mendongeng. Apabila terpaksa mendongeng, maka dongeng sang ibu sering kacau karena kalah oleh kantuk, dan sudah tertidur sebelum dongengnya tamat. Padahal anaknya belum tertidur. Anak-anak tidak bisa belajar lagi di rumah. Pendidikan mereka 100 % diserahkan ke sekolah. Padahal di sekolahpun para guru tidak bisa mendidik seperti jaman dulu. Karena guru-guru jaman sekarang mengajar di banyak sekolah untuk sekedar menambal kekurangan gaji mereka supaya dapur para guru itu tetap berasap. Tinggallah anak-anak kita yang jadi korban. Anak-anak lebih banyak berkeliaran di mal-mal. Atau kalaupun ada di rumah, mereka duduk di depan TV menyaksikan tayangan yang penuh dengan kekerasan dan seks. Akibatnya, anak-anak menjadi mudah marah, mudah tersinggung. Puncaknya adalah tawuran antar sekolah. Kita tidak pernah tahu apa yang mereka bela. Kalau kehormatan sekolah yang dibela, mungkin masih dapat dimengerti. Namun tawuran mereka lebih sering karena alasan iseng saja. Saling mencemooh antar pelajar dan berbuntut saling baku hantam. Bahkan tidak jarang baku bacok.
Kemampuan berkomunikasi merekapun juga kurang baik. Kadang-kadang pikiran mereka lebih cepat dari ucapan mereka. Jangan disuruh mereka menulis. Berbicara saja mereka susah memilih kosa kata, karena memang miskin kosa kata. Mereka tidak pernah terlatih untuk menggunakan banyak kosa kata. Dengarkan jika kebetulan anak muda diwawancara oleh wartawan media elektronik. Jawaban mereka sering meloncat dari satu topik ke topik yang lain. Tidak pernah runtut dalam mengemukakan pendapat. Mengemukakan pikiran yang runtut hanya bisa dilatih dengan cara membaca dan menulis.

Sesungguhnya pendidikan di lingkungan keluarga merupakan kunci dari permasalahan yang kita hadapi sekarang ini. Dan kunci pendidikan di lingkungan keluarga adalah ibu. Jika saja ibu dapat memberikan teladan-teladan yang berasal dari dongeng atau cerita dari buku dongeng anak-anak, maka jiwa anak-anak itu sudah diisi oleh hal-hal yang baik sejak dini. Masalahnya dari mana ibu-ibu tersebut bisa mendapatkan buku cerita supaya dia bisa mendongeng dengan baik. Membeli buku cerita anak bagi keluarga sederhana merupakan sesuatu yang muskil. Bayangkan, untuk satu nomor majalah Bobo saja harganya sama dengan setengah kilogram telur ayam. Padahal satu nomor majalah Bobo mungkin hanya bisa menjadi dua hari untuk bahan mendongeng. Jika anak-anak tersebut sudah bisa membaca sendiri, maka bahan bacaan yang dibutuhkannya akan semakin mahal. Satu nomor majalah Kawanku misalnya akan lebih mahal dari harga satu kilogram telur ayam.
Untuk memenuhi bahan bacaan tersebut, saya teringat pengalaman saya sewaktu berkunjung ke Buin Batu National School. Buin Batu terletak di Pulau Sumbawa, tepatnya di kawasan pertambangan Newmont Nusa Tenggara. Buin Batu adalah kota kecil yang dari ujung kota yang satu ke ujung yang lain hanya ditempuh selama 30 menit berjalan kaki. Ketika saya mampir di toko kelontong (mini market) di salah satu sudut kota, saya tertarik ke salah satu ruangan yang ada pojok toko tersebut. Disitu ada rak-rak buku dan majalah. Semula saya sangka buku dan majalah yang ada disitu dijual. Karena kebetulan bahan bacaan saya sudah habis terbaca di tempat penginapan dan saya butuh bahan bacaan, saya bermaksud untuk membelinya. Saya masuk ke ruangan tersebut. Namun saya tidak dapati penjaga “toko buku” tersebut. Saya tanya sama security (begitu yang tertulis di topinya). Katanya buku dan majalah itu tidak dijual, tapi dapat dipinjamkan. “Kalau Bapak mau pinjam, silahkan memilih sendiri buku atau majalahnya, kemudian mencatatkan pinjaman Bapak di buku yang ada di sudut ruangan itu.” Kata security itu menjelaskan. Wah… ini baru layanan perpustakaan yang menganut self-service. Layanan seperti ini hanya bisa kita dapatkan di Singapura. Saya mencoba tanya lebih lanjut pada security. Ternyata koleksi “perpustakaan umum” itu berasal dari sumbangan warga Buin Batu. Prinsip mereka adalah sharing koleksi. Jika mereka bisa beli satu, maka mereka dapat membaca banyak. Yang tidak sanggup membelipun dapat membaca banyak. Gotong royong semacam ini dapat dikembangkan di tempat-tempat lain di Indonesia.
Lebih jauh lagi mestinya penyediaan bahan bacaan ini merupakan tanggung jawab Pemerintah. Perpustakaan umum harus diberdayakan. Bahkan mestinya perpustakaan umum ini ditempatkan di pusat keramaian seperti pasar dan swalayan. Dengan demikian ibu-ibu yang lelah sehabis keliling berbelanja di pasar tersebut dapat mampir sejenak untuk memilih bahan bacaan untuk si kecil di rumah. Dalam hal penempatan lokasi perpustakaan umum ini kita patut mencontoh Singapura. Hampir setiap pusat pertokoan di Singapura ada perpustakaan umumnya. Salah satu perpustakaan umum di Singapura berlokasi di pusat perbelanjaan “Takasimaya” yang berlokasi di pusat kota, Orchid Road. Perpustakaan itu penuh dengan pengunjung tua, muda, bahkan anak-anak usia TK/SD yang melakukan aktifitas seperti membaca, melihat-lihat buku, meminjam, dan sebagainya. Di perpustakaan ini juga disediakan kafe dengan kualitas standard semacam McDonald dan Kentucky Fried Chicken, dan setiap beberapa hari perpustakaan juga menyelenggarakan life music di kafenya. Dengan demikian masyarakat yang datang ke perpustakaan juga bisa menikmati makanan yang enak dengan suasana yang enak, serta dapat membaca dengan enak pula. Di perpustakaan ini pendidikan masyarakat dapat dilakukan seperti mendidik berdisiplin dan saling menghargai satu sama lain. Mengambil contoh Singapura tadi misalnya, begitu masuk di pintu utama gedung perpustakaan pengunjung sudah diingatkan dengan etika ke perpustakaan atau library etiket. Peringatan tersebut digambar di lantai seperti matikan handphone dan pager, Jangan berbicara keras, Jangan berdiskusi di perpustakaan. Sedangkan yang berhubungan dengan bahan pustaka ada peringatan seperti Perlakukan pustaka dengan baik, kembalikan ke tempat semula atau ke keranjang pengembalian untuk kenyamanan pembaca lain, dan lain-lain. Disini masyarakat dibiasakan untuk mematuhi etika dan peraturan yang diberlakukan di perpustakaan. Juga dibiasakan untuk menghargai hak-hak orang lain. Misalnya jangan berbicara keras, karena bisa mengganggu kenyamanan orang lain; mematikan telepon genggamnya supaya tidak mengganggu kenyamanan orang lain dan sebagainya. Jika kebiasaan ini dapat berimbas kepada kehidupan mereka di luar perpustakaan, alangkah indahnya dan nyamannya kita beraktifitas sehari-hari. Tidak ada supir yang berhenti seenaknya; tidak ada orang yang menyerobot antrian di kasir pasar swalayan, di bank-bank dan ATM; tidak ada pejabat yang sibuk menerima panggilan telepon genggam padahal ia sedang menghadiri rapat penting, dan lain-lain.
Perpustakaan juga dapat mendidik masyarakat untuk berperilaku halus yaitu dengan menyediakan bacaan-bacaan rekreasi yang bisa mengasah perasaan mereka seperti buku-buku sastra, novel, cerpen dan lain-lain. Lihat masyarakat sekarang yang cenderung brutal. Tidak terkecuali kalangan terpelajar seperti mahasiswa dan pelajar. Tanyakan kepada mereka, apakah dia sering membaca dan apa bacaannya. Saya yakin mereka tidak pernah atau jarang sekali membaca. Kalaupun membaca, saya yakin bacaan mereka adalah bacaan yang tidak bermutu yang banyak beredar di sekitar kita, seperti koran-koran kriminal, perkosaan, perampokan, penodongan, pelecehan seksual dan lain-lain yang justru menjadi pemicu kekerasan dan bahkan mengarahkan ke perilaku jahat. Jika perpustakaan dapat menyediakan bacaan bermutu dengan suasana yang nyaman, maka masyarakat mempunyai pilihan untuk mendapatkan informasi. Dengan kesibukan membaca maka para mahasiswa dan pelajar tidak punya waktu lagi untuk bergerombol dan “kongkow-kongkow” dan kemudian saling mengganggu dan tawuran.Kembali ke peran Ibu di rumah tangga, marilah pada kesempatan hari Ibu ini kita berdayakan Ibu-ibu disekitar kita. Jika ibu dapat mendidik anak-anaknya dengan baik saya percaya bahwa generasi bangsa Indonesia kedepan akan lebih baik. Karena itu berilah Ibu-ibu itu bahan untuk memberi teladan yang baik-baik kepada anaknya melalui dongeng-dongeng yang dapat mengantarkan anaknya tertidur dengan mimpi-mimpi indah.

Wednesday, June 28, 2006

Melestarikan Kearifan Masyarakat Tradisional (Indigenous Knowledge)

A.C. Sungkana Hadi
(Pustakawan Madya pada UPT Perpustakaan Universitas Cenderawasih)

A. Pendahuluan

Pada dasarnya, dalam setiap komunitas masyarakat, termasuk komunitas masyarakat tradisional sekalipun, terdapat suatu proses untuk ‘menjadi pintar dan berpengetahuan’ (being smart and knowledgeable). Hal itu berkaitan dengan adanya keinginan agar dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, sehingga warga komunitas masyarakat akan secara spontan memikirkan cara-cara untuk melakukan dan/atau menciptakan sesuatu, termasuk cara untuk membuat makanan, cara untuk membuat peralatan yang diperlukan untuk mengolah sumber daya alam demi menjamin tersedianya bahan makan, dan sebagainya. Dalam proses tersebut suatu penemuan yang sangat berharga dapat terjadi tanpa disengaja. Mereka menemukan bahwa suatu jenis tanaman tertentu dapat menghasilkan buah yang dapat dimakan setelah dilakukan cara pengolahan tertentu; atau daun tertentu dapat menyembuhkan mereka dari sakit perut, sedang daun lain mengobati demam; atau akar-akaran tertentu dapat menyembuhkan luka. Mereka menghimpun semua informasi tersebut dan melestarikannya, serta mewariskannya turun temurun.

Sejalan dengan kemajuan sosial-ekonomi, tata-cara atau teknik yang mereka gunakan untuk memproses penemuan-penemuan itu berkembang pula. Sehingga secara perlahan mereka menciptakan ‘metode’ untuk membangun pengetahuan yang pada dasarnya merupakan cara-cara atau teknologi asli (indigenous ways) untuk mendayagunakan sumber daya alam bagi kelangsungan kehidupan. Mereka mengembangkan suatu sistem pengetahuan dan teknologi yang asli – suatu kearifan lokal (indigenous or local knowledge – yang biasa disingkat dengan IK), yang mencakup berbagai macam topik seperti masalah kesehatan, masalah pangan dan pengolahan pangan, pemeliharaan ternak, pengelolaan air bersih, konservasi tanah, serta pencegahan hama dan penyakit tanaman.

IK yang pada umumnya berbentuk oral (tradisi lisan), berkembang di daerah pedesaan bahkan pedalaman yang terpencil, dan biasa disebut masih bersifat tradisional tersebut memang tidak/belum didasarkan pada metode tertentu yang bersifat sistemik, apalagi bersifat ilmiah. IK tidak pernah dapat dipahami dan disimpan secara sistematis, sehingga akibat terburuknya adalah bahwa IK tersebut akan punah. IK seperti sesuatu harta berharga yang tidak terlihat oleh masyarakat akademik, karena tidak dapat dikomunikasikan secara sistematis, sehingga tidak pula bisa dimanfaatkan. Oleh karena itu, sistem tersebut biasa disebut sebagai suatu bentuk kearifan masyarakat yang dianggap tidak relevan dan tidak memiliki kekuatan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan produktivitas dalam dunia modern.

Namun demikian, sejak dekade terakhir abad yang lalu, situasi mulai berubah. Perhatian para ilmuwan dan masyarakat pada umumnya mulai terarah kepada upaya-upaya untuk mengidentifikasi, memahami dan mendokumentasikan sistem pengetahuan dan teknologi asli atau IK tersebut. Secara signifikan dapat disaksikan adanya ledakan jumlah publikasi mengenai relevansi IK tersebut terhadap berbagai aspek dari kebijakan publik dan terhadap disiplin ilmu akademik. Selain itu, ratusan situs internet secara khusus mengakomodasi pendokumentasian ratusan ribu tulisan dengan topik-topik IK. Ancaman dari kemajuan ini adalah bahwa terdapat kemungkinan penyalahgunaan atau pelanggaran hak atas kekayaan intelektual masyarakat yang mengembangkan IK tersebut. Oleh karena itu, disamping upaya untuk mengembangkan sistem pendokumentasian melalui pengembangan program atau perangkat lunak teknologi informasi, juga terlihat upaya-upaya untuk mengembangkan perangkat yang sekaligus mampu menangkal tindakan-tindakan penyalah-gunaan.
[1]

IK dipandang sangat bernilai, dan mempunyai manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat, setidaknya bagi masyarakat pemiliknya. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat terkait. Dengan kata lain, IK tersebut kemudian menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif, untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat IK mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan (sustainable development), paling tidak sampai segala bentuk sistem modern menggantikan peran IK.

Konferensi internasional tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang diselenggarakan oleh PBB (UN Conference on Environment and Development – UNCED) tahun 1992, telah menunjukkan adanya minat tentang kontribusi IK terhadap pemahaman yang lebih baik atas pembangunan berkelanjutan. UNCED menegaskan adanya keperluan yang mendesak untuk mengembangkan mekanisme perlindungan keanekaragaman hayati bumi, dan menekankan perlunya melestarikan pengetahuan tentang lingkungan - IK – yang sedang menghilang dalam masyarakat.

B. Pengertian dan Karakteristik IK

Menurut Louise Grenier dalam bukunya yang berjudul Working with Indigenous Knowledge: a guide for researchers (1998)
[2], IK adalah pengetahuan lokal tradisional yang unik, yang masih ada di dalam dan berkembang di seputar kelompok wanita dan pria asli tertentu pada suatu wilayah geografis tertentu. Pengembangan IK, yang mencakup semua aspek kehidupan, termasuk pengelolaan lingkungan alam, telah terbukti mampu menjadikan masyarakat yang mengembangkannya tetap bertahan hidup. IK juga bersifat dinamis, dan dapat beradaptasi dengan sistem pengetahuan dan teknologi dari luar yang selalu bertambah, sehingga sistem luar/modern itu dapat sepadan (match) dengan kondisi lokal.
The Netherlands Organization for International Cooperation in Higher Education / Indigenous Knowledge (NUFFIC/
IK-Unit) bekerjasama dengan Management of Social Transformations Programme (MOST), UNESCO[3], telah mengidentifikasi bahwa terdapat berbagai macam definisi IK. Salah satunya adalah sebagaimana dikemukakan oleh Grenier tersebut. IK dipandang sebagai berbeda dengan pengetahuan yang dikembangkan/dihasilkan dalam suatu sistem internasional seperti universitas, lembaga-lembaga penelitian, serta lembaga-lembaga swasta lainnya. IK digunakan pada tataran lokal suatu masyarakat di negara berkembang, sebagai dasar bagi pengambilan keputusan yang terkait dengan pelestarian penyediaan makanan, kesehatan, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, dan berbagai kegiatan vital lainnya.

Sementara itu, SCIDEV (Science and Development Network, London)
[4] mendefinisikan IK sebagai ‘the knowledge that is unique to a given culture or society’ (pengetahuan yang khas/unik dalam suatu kebudayaan atau masyarakat tertentu). IK merupakan dasar atau acuan bagi pengambilan keputusan tingkat lokal yang berkaitan dengan pertanian, pemeliharaan kesehatan, penyiapan makanan, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, serta berbagai macam aktivitas lainnya dalam masyarakat pedesaan. Sistem informasi tentang IK ini didasarkan pada pengalaman yang telah teruji selama beberapa abad, yang kemudian diadaptasikan ke dalam budaya dan lingkungan setempat, sehingga bersifat dinamis dan senantiasa berubah. Disamping itu, sistem IK merujuk kepada suatu rangkaian pengetahuan dan teknologi yang kompleks, yang hidup dan berkembang dalam situasi dan kondisi khusus penduduk dan masyarakat asli pada suatu lokasi, yang memiliki kebudayaan dan sistem kepercayaan yang berbeda dari yang lainnya.
IK bersifat dinamis karena merupakan hasil dari suatu proses percobaan, inovasi, dan adaptasi yang berkelanjutan, yang memungkinkan IK dapat berpadu juga dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, IK harus diintegrasikan lebih lanjut dengan karya para ilmuwan sebagai suatu kontribusi pelengkap terhadap seluruh upaya IPTEK dalam mencari solusi dan strategi untuk memerangi kemiskinan, dan untuk mengembangkan keberlanjutan dalam pembangunan. Berhubung dengan hal tersebut maka sangat menggembirakan untuk mengamati bahwa sains global telah mengakui juga relevansi IK tersebut. Konperensi Sains Dunia, The World Conference on Science
(Budapest, 1999), telah merekomendasikan bahwa pengetahuan dan teknologi tradisional harus diintegrasikan dalam projek-projek interdisipliner yang berhubungan dengan kebudayaan, lingkungan dan pembangunan, khususnya dalam bidang konservasi kenakeragaman hayati, pengelolaan sumber daya alam, pemahaman tentang bahaya-bahaya alam, dan penekanan secara maksimal terhadap dampak proyek-proyek itu. Konperensi juga mengharuskan agar masyarakat lokal dan para pelaku yang relevan, dilibatkan dalam proyek-proyek ini. Para ahli dari negara-negara yang telah maju bahkan menganggap IK sebagai cadangan ilmu pengetahuan yang sangat berharga – sekalipun belum berkembang – sebagai aset besar yang dimiliki oleh negara-negara berkembang
IK merupakan bagian yang sangat penting – bahkan merupakan unsur utama dari modal sosial – dari kehidupan masyarakat asli, yang pada umumnya ketinggalan dibandingkan dengan masyarakat lain yang lebih maju. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, IK sangat berperan dalam menunjang upaya masyarakat asli dalam mempertahankan hidup, menghasilkan bahan makanan, membangun papan dan tempat tinggal, bahkan juga dalam menciptakan sistem perlindungan bagi kehidupan komunitas bersangkutan. Oleh karena itu, IK memiliki kontribusi yang sangat potensial dalam menciptakan strategi untuk keberlanjutan hidup komunitas masyarakat bersangkutan.

Ciri-ciri IK adalah: lahir dan dikembangkan dalam suatu komunitas masyarakat, bersifat khas dan lokal, merupakan acuan bagi pengambilan keputusan dan penciptaan strategi untuk tetap bertahan hidup, mencakup topik-topik penting yang terkait dengan masalah produksi primer, kehidupan manusia dan hewan, serta pengelolaan sumber daya alam. IK pada umumnya berbentuk lisan (oral) dan berbasis pedesaan, belum didokumentasikan secara sistematik, namun bersifat dinamis dan berbasis pada inovasi, adaptasi, dan eksperimentasi
[5].

C. IK dan Studi Antropologi Budaya

Dengan semakin bertambahnya perhatian masyarakat terhadap IK dan kontribusinya bagi pengembangan masyarakat secara berkelanjutan, maka berkembang pula upaya untuk lebih meningkatkan kegiatan pelestarian IK tersebut. Secara akademik, bidang ilmu yang dianggap paling relevan melakukan upaya pelestarian IK adalah Antropologi Budaya.

Jika diperhatikan definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh Ralp Linton, maka jelaslah IK tersebut merupakan bagian dari suatu kebudayaan, atau bagian dari suatu proses kemajuan peradaban. Dengan demikian, mengidentifikasi dan memahami IK berarti mengidentifikasi dan memahami suatu proses budaya berikut hasil-hasilnya. Dalam konteks pembinaan kebudayaan nasional Indonesia, maka pengidentifikasian dan pemahaman IK berarti juga merupakan salah satu upaya untuk dapat melestarikan kebudayaan nasional, karena kebudayaan nasional pada dasarnya adalah puncak-puncak hasil kemajuan peradaban suku-suku bangsa di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Landon Myer dalam tulisannya berjudul Biodiversity conservation and indigenous knowledge: rethinking the role of anthropology,
[6] menyatakan bahwa penelitian antropologi perlu menjangkau proses-proses yang berdampak pada interaksi manusia dengan lingkungan pada tataran lokal, antara lain dalam penelitian keanekaragaman hayati (biodiversity) menurut kearifan masyarakat. IK merupakan suatu bagian dari bentangan alam yang diubah oleh manusia, dengan aspek-aspek politis, ekonomis, sosial dan biologis yang saling berinterasi. Dengan demikian, penelitian keanekaragaman hayati dan IK merupakan penelitian terhadap kenyataan berwujud yang sangat riil. Penelitian demikian, menurut Myer, dapat memperluas pembahasan bukan hanya terhadap para pelaku langsung, melainkan juga terhadap kebijakan publik pada tataran lokal, nasional, dan internasional berikut konsekuensi dari pengimplementasiannya atau juga konsekuensinya bilai tidak dilakukan suatu impelemntasi. Metode inovatif yang terkemuka dalam disiplin Ilmu Antropologi untuk penelitian ini, menurut Myer, adalah metode/konsep penelitian multi-sited.

Sementara itu, D. Michael Warren
[7], Direktur Center for Indigenous Knowledge for Agriculture and Rural Development, Iowa State University, yang berbicara dalam International Conference on Conservation of Biodiversity in Africa: Local Initiatives and Institutional Roles, di Nairobi, Kenya, 30 Agustus-3 September 1992, menegaskan bahwa keanekaragaman hayati dan IK merupakan gejala esensial yang saling melengkapi bagi kemajuan umat manusia. Warren memberikan tinjauan atas beberapa studi mutakhir yang dengan jelas melukiskan peran aktif yang dimainkan oleh komunitas masyarakat pedesaan di Afrika dan di bagian dunia lain dalam melahirkan pengetahuan yang berbasis pemahaman yang cermat atas lingkungan mereka, mekanisme untuk menyiasati konservasi dan untuk mempertahankan sumber daya alam. Selain itu juga peran aktif dalam membuat organisasi berbasis komunitas yang berfungsi sebagai forum untuk mengidentifikasi masalah dan menanganinya melalui percobaan-percobaan dan inovasi pada tataran lokal, serta tukar menukar informasi dengan komunitas masyarakat lainnya. Warren juga menyebut peran penting dari The International Society of Ethnobiology dalam merumuskan hubungan yang tak dapat dipisahkan antara keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hayati. Dengan demikian studi etnologi atau antropologi budaya pada umumnya dapat dikaitkan dengan studi tentang keanekaragaman hayati, misalnya dengan mengidentifikasi cara-cara suatu komunitas masyarakat asli tertentu dalam mengelola dan/atau mempertahankan kekayaan keanekaragaman hayati di lingkungan mereka.

Dalam kerangka studi etnologi, terdapat studi etnobotani. Tujuan studi etnobotani
[8] adalah mempelajari bagaimana dan mengapa komunitas masyarakat tertentu menggunakan dan mengkonsepkan tanaman-tanaman dalam lingkungan setempat mereka. Studi ini membicarakan bagaimana dan dalam cara apa komunitas masyarakat tertentu menggunakan dan memandang alam, tentunya berdasarkan sistem pengetahuan dan teknologi asli – IK – mereka. Sebagai bidang penelitian, etnobotani adalah suatu studi interdisipliner dan menggunakan pendekatan holistik yang mencakup bidang ilmu botani, antropologi, sejarah, dan kimia.

Analog dengan studi etnobotani tersebut, kiranya dapat juga dikembangkan studi-studi yang terkait dengan masalah ekologi, yakni aspek dari IK (traditional ecological knowledge [TEK]), yang secara khusus berkaitan dengan pemanfaatan, pengelolaan, dan konservasi lingkungan dan sumber daya alam; studi-studi yang terkait dengan masalah kesehatan dan pengobatan tradisional (traditional medicine), yakni aspek dari IK yang secara khusus berkaitan dengan cara-cara melindungi dan memulihkan kesehatan yang dilaksanakan sebelum datangnya pengobatan modern. Menurut WHO, istilah pengobatan tradisional mengacu kepada akupunktur, persalinan tradisional, penyembuhan mental, dan tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat.

Studi lain yang erat kaitannya dengan IK adalah studi tentang hak ulayat tradisional (traditional resource rights [TRR]), yang mencakup hak atas tanaman, binatang/hewan, tanah, dan benda-benda lain yang mungkin memiliki nilai-nilai sakral, seremonial, warisan, atau nilai-nilai estetis lainnya. Dengan konsep TRR terkandung pula adanya perlindungan atas hak kekayaan intelektual (intellectual property rights – IPR) yang dimiliki oleh komunitas masyarakat bersangkutan, termasuk hak konpensasinya apabila TRR tersebut didayagunakan oleh pihak lain.

Melalui studi dan penelitian tersebut dapat diharapkan bahwa IK diidentifikasi, dideskripsikan, dan didokumentasikan dengan cermat, sehingga dapat dilakukan pelestarian terhadapnya. Untuk itu peran aktif para peneliti bidang ilmu Antropologi sangat menentukan dalam upaya pelestarian IK tersebut, tentunya dalam kerja sama lintas bidang dengan para peneliti bidang ilmu lainnya.

D. Penciptaan dan Pengelolaan Kepustakaan Kelabu

Hasil akhir dari suatu studi atau penelitian minimal akan berbentuk suatu dokumen atau karya tulis. Dokumen atau karya tulis hasil studi/penelitian tersebut akan menjadi bagian dari kepustakaan atau literatur yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para pencari informasi. Mengingat bahwa tidak semua karya tulis hasil penelitian dapat diterbitkan – dalam artian digandakan dalam jumlah besar dan disebarluaskan kepada masyarakat secara formal – maka dokumen hasil penelitian yang tidak diterbitkan tersebut hampir dapat disebut sebagai dokumen atau kepustakaan kelabu (grey literature), dokumen yang tidak jelas karena tidak bisa diakses oleh banyak pengguna.

Kekelabuan dokumen hasil penelitian tidak berarti bahwa dokumen tersebut tidak memiliki nilai informasi yang tinggi. Sebaliknya, dokumen hasil penelitian justru merupakan salah satu kepustakaan primer yang penting karena mengkomunikasikan hasil-hasil temuan baru. Oleh karena itu dokumen-dokumen kelabu tersebut perlu dikelola sedemikian untuk dapat diakses oleh sebanyak mungkin pengguna. Salah satu cara yang dewasa ini digunakan untuk mengelola dokumen kelabu ini adalah dengan mentransfernya kedalam bentuk digital, sehingga terbangunlah suatu sistem kepustakaan dan perpustakaan digital (digital library).

Sejalan dengan kecenderungan internasional untuk melakukan pelestarian terhadap IK, dan bahwa salah satu upaya pelestarian itu melalui kegiatan penelitian, maka terdapat upaya internasional pula untuk mengembangkan sistem perpustakaan digital tersebut. Suatu Tim dari Knowledge Management Research Group (KMRG) Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1999/2000 telah memperoleh dukungan dari IDRC Canada dan YLTI Indonesia untuk mengembangkan suatu perangkat lunak yang kemudian diberi nama Ganesha Digital Library (GDL). Visi dari GDL ini adalah “Connecting People’s Knowledge” dengan secara khusus mendokumentasikan dokumen karya tulis setempat yang biasa disebut sebagai ‘local contents’ dalam bentuk teks lengkap (full text records).
[9] Program GDL ini secara resmi diluncurkan pada tanggal 2 Oktober 2000.

Untuk mewujudkan visi tersebut, KMRG ITB menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, antara lain dengan Universitas Cenderawasih (UNCEN) dan sejumlah perguruan tinggi lain di Kawasan Timur Indonesia yang pernah mendapatkan bantuan dari Proyek Kerja sama Indonesia – Kanada. Melalui kerja sama ini, disepakati penggunaan perangkat lunak GDL untuk pendigitasian semua dokumen kelabu di lingkungan peserta kerja sama. Pada tahap awal, pendigitasian dokumen kelabu tersebut dilakukan secara offline yakni pada jaringan komputer lokal masing-masing. Namun pada tahap selanjutnya diharapkan bahwa dokumen yang telah terdigitasi tersebut akan dapat dipasang (upload) pada jaringan komputer global internet dengan alamat situs
http://www.digilib.[namaPTN/PTS].ac.id, sehingga dokumen karya tulis setempat itu pun dapat diketahui, dipelajari, dan dimanfaatkan oleh warga masyarakat lainnya. Dewasa ini sekitar 300 judul laporan penelitian UNCEN telah didigitasikan dalam program perpustakaan digital GDL UNCEN pada UPT Perpustakaan dengan alamat situs offline: digilib.uncen.ac.id, walaupun belum seluruhnya tersedia dalam teks lengkap (full text).

E. Penutup

Kearifan masyarakat tradisional selain merupakan harta budaya yang tidak boleh diabaikan, juga merupakan harta intelektual yang memiliki nilai yang sangat tinggi. Kearifan masyarakat atau Indigenous Knowledge – IK – telah teruji selama berabad-abad, dan terbukti menjadi salah satu komponen yang menunjang keberlangsungan kehidupan suatu komunitas masyarakat. Dalam dunia modern dewasa ini, IK tidak luntur dan tidak ditinggalkan, melainkan justru mendapat perhatian yang semakin besar, sehingga dilakukan berbagai upaya pelestarian IK.

Salah satu upaya pelestarian IK yang dipandang sangat potensial adalah dengan melakukan penelitian atau studi untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan mendokumentasikannya secara sistematis. Sesuai dengan hakekat dari IK itu sendiri, maka bidang ilmu yang dianggap paling relevan dalam melakukan penelitian dan studi IK adalah Antropologi. Sedangkan sesuai dengan arah dan tujuan pembangunan yang berkelanjutan, maka bidang penelitian dan studi IK yang paling relevan adalah keanekaragaman hayati dalam kaitan dan kerangka studi etnologi.

Dengan dilakukannya pelestarian melalui kegiatan penelitian dan studi Antropologi tersebut akan dihasilkan dokumen-dokumen karya tulis hasil penelitian yang diharapkan dapat bermanfaat sebagai pangkal tolak untuk penelitian dan studi selanjutnya. Dengan demikian hasil ganda dari kegiatan penelitian dan studi tentang IK ini dapat diperoleh, yakni pelestarian IK di satu pihak, dan penciptaan dokumen tentang IK – yakni kepustakaan kelabu Antropologi – di pihak lainnya.


Catatan Sumber Bacaan:
[1]Cf. Bevan Raymond Koopman, 2002. Software tools for Indigenous knowledge management. Bachelor of Information Technology Honours Thesis, School of Information Technology and Electrical Engineering, University of Queensland. Juga: http://www.nuffic.nl/ik-pages dan/atau http://www.unesco.org/most

[2]Louise Grenier, 1998. Working with Indigenous Knowledge: a guide for researchers. Ottawa: IDRC.

[3]Diturunkan dari: http://www.nuffic.nl/ik-pages dan/atau http://www.unesco.org/most

[4]Diturunkan dari: http://www.scidev.net/dossiers/indigenous_knowledge/ikdefs.html

[5] Diturunkan dari: http://www.nuffic.nl/ik-pages/about-ik.html

[6]Landon Myer, 1998. “Biodiversity conservation and indigenous knowledge: rethinking the role of anthropology.” Indigenous Knowledge and Development Monitor, March 1998 (internet material)

[7]D.M. Warren, 1992. “Indigenous knowledge, biodiversity conservation and development.” Keynote address pada International Conference on Conservation of Biodiversity in Africa: Local Initiatives and Institutional Roles, 30 August-3 September 1992, Nairobi, Kenya.

[8]Diturunkan dari: http://www.scidev.net/dossiers/indigenous_knowledge/ikdefs.html

[9] Lihat: brosur GDL, KMRG ITB; atau http://gdl.itb.ac.id

Sunday, May 07, 2006

Mendorong Penerbitan Jurnal Bidang Perpustakaan di Indonesia

Oleh:
Abdul Rahman Saleh
[1]

Pendahuluan
Memenuhi permintaan redaktur untuk menulis artikel berkaitan dengan topik mendorong penerbitan jurnal bidang perpustakaan dan informasi di Indonesia, maka yang saya ingat pertama kali adalah pengalaman saya mengelola jurnal selama beberapa tahun. Masalah utama yang saya hadapi adalah tidak adanya atau kurangnya artikel yang masuk dari para pustakawan sebagai penulis yang dikirim ke meja redaksi. Bertahun-tahun masalah ini selalu berulang. Akar permasalahan sesungguhnya adalah tidak adanya atau kurangnya pustakawan yang mampu dan mau menulis. Mengenai minat menulis ini saya kira pustakawan memiliki minat yang cukup besar untuk menulis. Saya teringat ketika tahun pertama menjadi kepala perpustakaan. Beberapa staf senior (dari segi akademik mereka rata-rata bergelar master dan beberapa orang bergelar sarjana) datang kepada saya meminta agar perpustakaan memfasilitasi mereka dalam belajar menulis. Berdasarkan permintaan mereka saya mengundang seorang penulis produktif di beberapa majalah ilmiah populer untuk memberikan pelatihan kepada staf perpustakaan. Lama pelatihan adalah 16 minggu (seperti kuliah satu semester). Targetnya adalah setiap peserta diakhir pelatihan harus menghasilkan tulisan yang dapat dipublikasi di majalah ilmiah populer. Namun setelah 16 minggu berlalu, saya kecewa. Tidak satupun peserta dapat menyelesaikan tugas menulisnya, apalagi dipublikasi.

Apa masalahnya? Masalahnya menurut saya adalah para peserta yang ikut pelatihan tersebut kurang giat membaca. Kemampuan menulis tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan membaca. Sebelum seseorang mampu menulis, maka orang tersebut harus banyak membaca.

Membaca sebagai Modal Menulis
Ketika duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya sangat tidak menyukai pelajaran mengarang. Apalagi pada waktu menghadapi ulangan umum Bahasa Indonesia, dimana kami diminta untuk mengarang. Satu jam pertama saya hanya duduk saja dan tidak satu hurufpun dapat ditulis dalam kertas kosong yang disediakan. Mengapa demikian? Karena saya tidak dapat menemukan kata-kata apa yang hasus dituliskan. Mengapa terjadi demikian? Karena saya tidak pernah membaca sehingga saya tidak pernah memiliki pengalaman yang tersimpan dalam memori otak saya.

Mengenai kebiasaan membaca untuk memperoleh pengalaman ini Andi Hakim Nasoetion dalam bukunya berjudul Pola Induksi Seorang Experintalis (2002, hal 191) memberikan teladan Thomas Alva Edison semasa kecil. Thomas kecil ini menjadi seorang penjaja koran di jalur ulang-alik kereta yang menghubungkan dua kota. Namun ia menjajakan korannya ketika kereta berhenti di stasiun-stasiun diantara kedua kota tersebut agar tidak mengganggu istirahat penumpang. Untuk mengisi waktu selama perjalanan, maka ia membaca buku-buku bekas yang dibelinya atau yang dikumpulkannya dari keranjang sampah. Apa yang terjadi sesudah Thomas dewasa? Ia menjadi penemu banyak teknologi. Lebih dari 1000 paten ia peroleh dari hasil penemuannya. Hasil temuan tersebut tentu ditulis dan disampaikan (diumumkan) kepada khalayak. Bagaimana mungkin temuan-temuannya itu bisa disampaikan kepada khalayak jika hasil temuannya itu tidak ditulis dengan baik?

Kondisi Publikasi Jurnal Perpustakaan di Indonesia
Jurnal bidang perpustakaan dan informasi yang terbit di Indonesia ternyata cukup banyak. Menurut hasil penelitian Purnomowati dan Yuliastuti (2000) terdapat 84 judul jurnal bidang ilmu perpustakaan dan informasi dan semuanya telah memiliki ISSN. Namun dari jumlah tersebut hanya 39 judul jurnal (46,43 %) saja yang masih terbit, 10 judul lainnya (11,9 %) sudah tidak terbit lagi. Sedangkan sebanyak 32 judul (38,10 %) tidak diketahui statusnya dan 3 judul (3,57 %) telah berganti judul.

Jumlah judul yang tidak terbit lagi dan tidak diketahui statusnya ternyata cukup besar yaitu 42 judul (50 %) atau separuh dari jumlah yang terdaftar. Dugaan kuat tidak terbitnya jurnal tersebut karena tidak adanya pasokan artikel untuk diterbitkan, selain tentunya kendala biaya pencetakan. Soal pendanaan penerbitan ini memang dilematis. Di satu sisi penerbit tentu memerlukan biaya untuk mencetak dan mengirimkan publikasinya sehingga sampai ke pembaca. Sedangkan di sisi lain pembaca sangat sulit diminta untuk membeli atau melanggan publikasi kita. Jangankan melanggan secara pribadi, instansipun masih sulit diminta untuk membayar sebagai pengganti biaya cetak dan ongkos kirim. Sebagai ilustrasi dari 500 eksemplar yang dicetak, Jurnal Pustakawan Indonesia (JPI) hanya dilanggan oleh sekitar 10 pelanggan saja. Perolehan dari penjualan JPI jelas tidak mungkin bisa menutupi biaya cetak dan ongkos kirim publikasi ini. Simak lagi pernyataan dari Redaksi Marsela volume 4 nomor 1 Juni 2002 yang berbunyi: ”...Redaksi harus menghadapi kenyataan bahwa majalah kita ini masih sulit mendapatkan langganan atau pembeli tetap. Sehingga secara ekonomis sangat menggerogoti keuangan Pengurus Pusat.” Tidak heran jika banyak jurnal bidang perpustakaan yang tidak dapat bertahan lama. Hasil penelitian Purnomowati dam Yuliastuti (2000) melaporkan bahwa jurnal yang terus menerus terbit selama 20 – 29 tahun hanya 33,33 % (jumlah ini hanya seperempat dari jumlah publikasi awal), sedangkan majalah berumur 10 – 19 tahun mencapai 48,74 %.

Tidak lakunya jurnal bidang perpustakaan dan informasi ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara lain yaitu:
(1) Kualitas artikelnya yang masih kurang baik. Terbukti (mungkin tidak selalu benar) tidak ada satupun jurnal bidang perpustakaan dan informasi yang terakreditasi di Diretorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional (
http://www.dikti.org/p3m/Jurnal Terakreditasi2003.html). Hal ini sejalan dengan pendapat Purnomowati dan Yuliastuti (2000) yang menyatakan bahwa belum ada satupun majalah bidang ilmu perpustakaan dan informasi yang diklasifikasikan sebagai majalah ilmiah oleh Tim Penilai Jabatan Peneliti – LIPI.
(2) Kemampuan atau daya beli pustakawan yang masih rendah. Secara pribadi mungkin pustakawan memang tidak terlalu diharapkan untuk melanggan satu apalagi beberapa judul jurnal. Hanya beberapa orang pustakawan saja yang mungkin dapat menyisakan biaya hidupnya untuk membeli jurnal. Karena itu seharusnya lembaga atau perpustakaan dimana pustakawan tersebut bekerja yang harus membeli terbitan tersebut. Sekurang-kurangnya terbitan tersebut dijadikan bahan penukaran antar perpustakaan. Dengan demikian para pustakawan dapat saling bertukar informasi melalui artikel yang dimuat dalam majalah tersebut.
(3) Minat baca pustakawan yang masih rendah. Pada suatu kesempatan pengajian di perpustakaan, saya pernah menanyakan siapa yang dalam sebulan terakhir membaca sebuah buku kepada teman-teman staf perpustakaan yang berjumlah sekitar 50 orang. Tidak ada seorangpun yang menjawab. Saya heran. Bagaimana mungkin, pustakawan yang setiap hari berhadapan dengan buku (informasi) tidak tertarik untuk membaca. Hasil dua penelitian Saleh dkk (1995 dan 1997) mendapatkan kesimpulan yang konsisten bahwa minat dan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia belum tinggi atau cenderung rendah. Pernyataan ini diulang dalam penelitiannya yang lain dinyatakan sebagai berikut: ”Tingkat minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan tingkat minat baca masyarakat bangsa lain. Pernyataan negatif pesimistis ini sering muncul dan diulang-ulang dalam berbagai laporan hasil penelitian dan pendapat para pakar yang dituangkan dalam berbagai tulisan atau pun disampaikan dalam beragam pertemuan ilmiah” (Saleh dkk, 2004).
Penyebab lain tidak lancarnya penerbitan jurnal bidang perpustakaan dan informasi adalah kurangnya pasokan artikel dari kontributor penulis, dalam hal ini pustakawan. Perhatikan Pengantar Redaksi JPI volume 5 nomor 2, Desember 2005 berikut: ”...lagi-lagi dengan sedikit terlambat. Tapi sesuai dengan pepatah “Better late than never”, Redaksi tetap berupaya agar JPI tetap hadir ke hadapan Anda. Alasan klise adalah kurangnya artikel yang masuk ke meja Redaksi menyebabkan terlambatnya terbitan ini...” Saya yakin sekali, banyak publikasi jurnal bidang perpustakaan dan informasi yang tidak dapat berlangsung karena tidak adanya artikel (yang memenuhi syarat) yang masuk. Simak pula Pengantar Redaksi Marsela edisi Juli 2005 berikut: ” Redaksi Marsela yang baru ingin mengutip apa yang ditulis oleh Redaksi Marsela yang lama yaitu “Better late than never”. Alasan Redaksi masih sama yaitu ketiadaan artikel yang masuk ke meja Redaksi. Inilah realitas dari dunia kepustakawanan kita. Pertanyaannya, apakah sedemikian sibuknya para pustakawan kita sehingga tidak sempat lagi meluangkan waktunya untuk sekedar berbagi informasi dengan cara menulis artikel? Ataukah memang kemampuan menulis para pustakawan kita yang berada di bawah rata-rata sehingga tidak mampu menulis artikel?...”

Upaya Mendorong Publikasi Bidang Perpustakaan
Seperti disampaikan di atas bahwa tersendatnya penerbitan jurnal bidang perpustakaan dan informasi berasal dari kurangnya naskah atau tulisan yang masuk ke meja redaksi, dan minimnya dana untuk membiayai publikasi. Karena itu untuk mendorong agar publikasi jurnal bidang perpustakaan dan informasi terus berlangsung tanpa terputus maka diperlukan upaya-upaya sebagai berikut:

  • Membina Pustakawan agar Menulis
    Dari namanya saja profesi pustakawan ini sudah terlihat bahwa profesi ini selalu berurusan dengan buku (informasi). Jika pustakawan yang selalu berada di tengah-tengah informasi tidak memiliki informasi, maka hal itu dapat diibaratkan dengan semut yang mati ditengah-tengah tumpukan gula. Karena itu harus ada upaya yang mendorong agar pustakawan ini dapat menulis antara lain dengan:
    (1) Bimbingan menulis
    Sebagian besar pustakawan yang ingin menulis sering kali tidak tahu dari mana dia akan mengawali tulisannya. Selain itu teknik menulis belum dia kuasai, penggunaan kosa kata yang terbatas, wawasan dan pengalaman yang terbatas dan lain-lain. Oleh karena itu harus ada pelatihan teknik menulis. Setelah dilakukan pelatihan teknik menulis, para calon penulis ini harus dibimbing dalam melakukan penulisan. Konsep tulisan yang dihasilkan calon penulis ini harus dikoreksi. Hasil koreksian tersebut harus diberitahukan kepada penulisnya dan diberikan pengarahan untuk memperbaiki tulisannya. Hal-hal yang bersifat pengayaan terhadap tulisan harus pula diberikan. Bila perlu penulis tersebut dicarikan bahan bacaan dan diberikan tugas untuk membaca agar tulisan dapat didukung dengan bacaan yang lebih bervariasi sehingga dihasilkan tulisan yang lebih berbobot.
    (2) Membentuk Grup Diskusi
    Diskusi sangat diperlukan untuk mengasah ketajaman analisis terhadap suatu masalah. Selain itu dari diskusi kita akan memperoleh informasi yang mungkin belum kita temukan dari bahan bacaan yang kita baca, namun sudah dibaca oleh teman diskusi kita. Dari diskusi ini sering muncul inspirasi mengenai topik yang akan kita tulis. Oleh karena itu pustakawan perlu membentuk grup diskusi yang secara rutin bertemu dan berdiskusi. Topik yang akan dibicarakan dapat ditentukan terlebih dahulu. Topik tersebut sedapat mungkin berupa kasus yang harus dicarikan solusinya. Buat skenario kasus yang terjadi di perpustakaan. Kemudian mintakan pendapat masing-masing anggota grup diskusi untuk menyelesaikan kasus yang (menurut skenario) terjadi. Berikan kesempatan kepada anggota grup yang lain untuk membahas, memberikan argumentasi, menyanggah dan lain-lain. Tentunya agar diskusi tersebut ”hidup”, masing-masing anggota grup diskusi harus mencari bahan bacaan untuk mendukung argumentasinya. Dari diskusi tersebut para anggota grup diskusi dapat mengembangkan materi diskusinya menjadi suatu tulisan atau makalah. Tulisan tersebut kemudian dikoreksi oleh pustakawan senior (yang sudah biasa menulis) untuk dilakukan perbaikan sampai layak terbit.
    (3) Mengikuti/ mengadakan lomba
    Lomba penulisan artikel sudah sering diadakan baik oleh Perpustakaan Nasional RI maupun oleh Perpustakaan Provinsi. Bahkan beberapa perpustakaan tingkat kabupaten dan beberapa perpustakaan perguruan tinggi juga sering mengadakan lomba yang sama. Dengan mengikuti lomba penulisan tersebut kita bisa mengukur sejauh mana kemampuan kita menulis. Umumnya motivasi menulis akan muncul ketika kita membaca pengumuman tentang adanya lomba. Peserta yang mengikuti lomba sebaiknya juga meminta bimbingan kepada pustakawan senior yang sudah biasa menulis.
    (4) Menyusun tulisan bunga rampai
    Untuk menghasilkan tulisan yang baik para penulis pemula perlu media untuk melakukan latihan. Tulisan-tulisan mereka yang dinilai belum baik tentu akan ditolak oleh dewan redaksi jika tulisan tersebut dikirim ke redaksi sebuah penerbitan. Di sisi lain penulis pemula ini memerlukan pengakuan (dan tentunya kebanggaan) bahwa yang bersangkutan sudah menghasilkan tulisan. Untuk menjembatani kesenjangan tersebut maka pengelola perpustakaan dapat mengumpulkan tulisan-tulisan tersebut dan menyuntingnya bila perlu. Tulisan yang telah terkumpul tersebut dapat diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan artikel atau yang dikenal dengan bunga rampai. Terbitan tersebut dapat dibuat sendiri oleh perpustakaan. Hal ini dimungkinkan dengan kemajuan teknologi komputer yang berfungsi sebagai desktop publishing. Kovernyapun dapat dicetak sendiri dengan printer biasa atau jika perpustakaan bisa menyisihkan biaya untuk pencetakan, maka kovernya dapat dicetak ke percetakan komersial. Isinya dapat diperbanyak dengan cara memfotokopi. Bunga rampai ini bisa diperbanyak dalam jumlah terbatas. Dengan penerbitan seperti ini pustakawan yang baru belajar menulis akan mempunyai kebanggan ketika melihat tulisannya diterbitkan, walaupun dalam penerbitan yang terbatas. Kebanggaan ini akan mendorongnya untuk terus berkarya. Dengan melatih kemampuannya menulis secara terus menerus, maka karya penulis pemula tersebut akan semakin baik dan pada akhirnya tulisannya akan diterima untuk diterbitkan di majalah atau jurnal perpustakaan dan informasi yang berskala nasional.
  • Mencari Solusi Biaya Murah
    Mengatasi soal mahalnya biaya pencetakan maka perlu dicari cara-cara untuk mereduksi biaya tersebut. Beberapa alternatif dapat dilakukan antara lain seperti:
    (1) Membuat electronic publication
    Dalam era digital seperti sekarang ini membuat publikasi electronik yang ditempatkan di server internet sangat memungkinkan. Banyak pengelola Internet Service Provider (ISP) yang menyediakan tempat (space di servernya) gratis untuk menempatkan publikasi kita (misalnya
    www.yahoo.com; www.geocities.com; dan masih banyak lagi). Bahkan diantaranya sudah menyediakan format baku (template) untuk suatu publikasi virtual (misalnya www.blogspot.com; 360o.yahoo.com dan lain-lain). Tinggal kemauan pustakawan saja untuk membuat publikasi, sebab membuat publikasi seperti ini hampir-hampir tidak memerlukan biaya. Satu-satunya biaya yang diperlukan adalah biaya untuk membayar pulsa telepon guna mengirim (up-load) file yang sudah kita buat. Contoh publikasi seperti ini kita bisa lihat di bpip.blogspot.com yaitu Buletin Perpustakaan dan Informasi Bogor. Dengan murahnya biaya publikasi elektronik ini, maka pustakawan dapat melatih kemampuan menulisnya dan mempublikasikannya dalam bentuk elektronik seperti ini.
    (2) Mencari dukungan sponsor atau donatur
    Cara yang kedua untuk mengatasi kendala biaya dalam mempublikasi jurnal perpustakaan ini adalah dengan mencari donatur tetap. Lembaga pemerintah dapat memasukkan biaya publikasi ini dalam anggaran tahunannya. Hal ini memang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah yang menerbitkan jurnal perpustakaan dan informasi. Tidak heran jika penerbit yang bertahan dalam mempublikasi jurnal perpustakaan dan informasi adalah berasal dari pemerintah dan perguruan tinggi yaitu sebesar 89,74 %, sedangkan yang diterbitkan oleh swasta, termasuk organisasi profesi, hanya sebesar 10,26 % (Purnomowati, 2000). Sponsor dari perusahaan swasta mungkin menjadi alternatif sumber pendanaan. Namun biasanya mereka melihat kualitas dari terbitannya sebelum memberikan bantuan dananya. Penerbitan yang berskala nasional biasanya lebih mudah mendapatkan sponsor daripada penerbitan yang berskala lokal.

Penutup
Apa yang disajikan dalam tulisan ini sebagian besar adalah pengalaman pribadi penulis dalam membina penerbitan jurnal bidang perpustakaan dan informasi. Penulis berharap setiap pustakawan yang sudah menjadi penulis dapat membimbing para pustakawan yuniornya agar nantinya mereka dapat menjadi penulis juga. Banyaknya tulisan pustakawan yang layak terbit tentu akan mendorong tumbuhnya penerbitan jurnal bidang perpustakaan dan informasi. Setidak-tidaknya memelihara publikasi yang sudah ada agar jangan sampai mati karena tidak adanya pasokan naskah atau tulisannya.


Daftar Pustaka

  1. Jurnal Pustakawan Indonesia. Pengantar Redaksi. JPI volume 5 nomor 2 Desember 2005. hal. ii
  2. Marsela. Dari Redaksi. Marsela, volume 4 nomor 1 Juni 2002. hal. 1
    Nasoetion, A. Hakim (2002). Baca Buku dan Terapkan. Dalam. Pola Induksi Seorang Experimentalis. Bogor: IPB Press, 2002.
  3. Purnomowati, Sri dan Rini Yuliastuti (2000). Majalah Indonesia Bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Marsela Volume 2 nomor 2 April 2000. hal 13 – 16.
  4. Purnomowati, Sri dan Rini Yuliastuti (2000). Majalah Indonesia Bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi (bagian ke II). Marsela, Volume 2 nomor 2-3 Agustus - Desember 2000. hal 36 – 40.
  5. Saleh, AR dkk. (1995). Penelitian Minat Baca Masyarakat: Pulau Batam. Kerjasama antara Perpustakaan Nasional RI dengan Perpustakaan IPB, Jakarta: Perpusnas RI, 1995.
  6. Saleh, AR dkk. (1997). Penelitian Minat Baca Masyarakat di Jawa Timur. Kerjasama antara Perpustakaan Nasional RI dengan Perpustakaan IPB, Jakarta: Perpusnas RI, 1997.
  7. Saleh, AR dkk. (2002). Kajian Penerbitan Buku di Indonesia tahun 2002 - 2003. Kerjasama antara Perpustakaan IPB dengan Perpustakaan Nasional Indonesia. Jakarta: Perpusnas RI, 2004.

    [1] Pemimpin Redaksi Jurnal Pustakawan Indonesia (JPI)