Sunday, May 07, 2006

Mendorong Penerbitan Jurnal Bidang Perpustakaan di Indonesia

Oleh:
Abdul Rahman Saleh
[1]

Pendahuluan
Memenuhi permintaan redaktur untuk menulis artikel berkaitan dengan topik mendorong penerbitan jurnal bidang perpustakaan dan informasi di Indonesia, maka yang saya ingat pertama kali adalah pengalaman saya mengelola jurnal selama beberapa tahun. Masalah utama yang saya hadapi adalah tidak adanya atau kurangnya artikel yang masuk dari para pustakawan sebagai penulis yang dikirim ke meja redaksi. Bertahun-tahun masalah ini selalu berulang. Akar permasalahan sesungguhnya adalah tidak adanya atau kurangnya pustakawan yang mampu dan mau menulis. Mengenai minat menulis ini saya kira pustakawan memiliki minat yang cukup besar untuk menulis. Saya teringat ketika tahun pertama menjadi kepala perpustakaan. Beberapa staf senior (dari segi akademik mereka rata-rata bergelar master dan beberapa orang bergelar sarjana) datang kepada saya meminta agar perpustakaan memfasilitasi mereka dalam belajar menulis. Berdasarkan permintaan mereka saya mengundang seorang penulis produktif di beberapa majalah ilmiah populer untuk memberikan pelatihan kepada staf perpustakaan. Lama pelatihan adalah 16 minggu (seperti kuliah satu semester). Targetnya adalah setiap peserta diakhir pelatihan harus menghasilkan tulisan yang dapat dipublikasi di majalah ilmiah populer. Namun setelah 16 minggu berlalu, saya kecewa. Tidak satupun peserta dapat menyelesaikan tugas menulisnya, apalagi dipublikasi.

Apa masalahnya? Masalahnya menurut saya adalah para peserta yang ikut pelatihan tersebut kurang giat membaca. Kemampuan menulis tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan membaca. Sebelum seseorang mampu menulis, maka orang tersebut harus banyak membaca.

Membaca sebagai Modal Menulis
Ketika duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya sangat tidak menyukai pelajaran mengarang. Apalagi pada waktu menghadapi ulangan umum Bahasa Indonesia, dimana kami diminta untuk mengarang. Satu jam pertama saya hanya duduk saja dan tidak satu hurufpun dapat ditulis dalam kertas kosong yang disediakan. Mengapa demikian? Karena saya tidak dapat menemukan kata-kata apa yang hasus dituliskan. Mengapa terjadi demikian? Karena saya tidak pernah membaca sehingga saya tidak pernah memiliki pengalaman yang tersimpan dalam memori otak saya.

Mengenai kebiasaan membaca untuk memperoleh pengalaman ini Andi Hakim Nasoetion dalam bukunya berjudul Pola Induksi Seorang Experintalis (2002, hal 191) memberikan teladan Thomas Alva Edison semasa kecil. Thomas kecil ini menjadi seorang penjaja koran di jalur ulang-alik kereta yang menghubungkan dua kota. Namun ia menjajakan korannya ketika kereta berhenti di stasiun-stasiun diantara kedua kota tersebut agar tidak mengganggu istirahat penumpang. Untuk mengisi waktu selama perjalanan, maka ia membaca buku-buku bekas yang dibelinya atau yang dikumpulkannya dari keranjang sampah. Apa yang terjadi sesudah Thomas dewasa? Ia menjadi penemu banyak teknologi. Lebih dari 1000 paten ia peroleh dari hasil penemuannya. Hasil temuan tersebut tentu ditulis dan disampaikan (diumumkan) kepada khalayak. Bagaimana mungkin temuan-temuannya itu bisa disampaikan kepada khalayak jika hasil temuannya itu tidak ditulis dengan baik?

Kondisi Publikasi Jurnal Perpustakaan di Indonesia
Jurnal bidang perpustakaan dan informasi yang terbit di Indonesia ternyata cukup banyak. Menurut hasil penelitian Purnomowati dan Yuliastuti (2000) terdapat 84 judul jurnal bidang ilmu perpustakaan dan informasi dan semuanya telah memiliki ISSN. Namun dari jumlah tersebut hanya 39 judul jurnal (46,43 %) saja yang masih terbit, 10 judul lainnya (11,9 %) sudah tidak terbit lagi. Sedangkan sebanyak 32 judul (38,10 %) tidak diketahui statusnya dan 3 judul (3,57 %) telah berganti judul.

Jumlah judul yang tidak terbit lagi dan tidak diketahui statusnya ternyata cukup besar yaitu 42 judul (50 %) atau separuh dari jumlah yang terdaftar. Dugaan kuat tidak terbitnya jurnal tersebut karena tidak adanya pasokan artikel untuk diterbitkan, selain tentunya kendala biaya pencetakan. Soal pendanaan penerbitan ini memang dilematis. Di satu sisi penerbit tentu memerlukan biaya untuk mencetak dan mengirimkan publikasinya sehingga sampai ke pembaca. Sedangkan di sisi lain pembaca sangat sulit diminta untuk membeli atau melanggan publikasi kita. Jangankan melanggan secara pribadi, instansipun masih sulit diminta untuk membayar sebagai pengganti biaya cetak dan ongkos kirim. Sebagai ilustrasi dari 500 eksemplar yang dicetak, Jurnal Pustakawan Indonesia (JPI) hanya dilanggan oleh sekitar 10 pelanggan saja. Perolehan dari penjualan JPI jelas tidak mungkin bisa menutupi biaya cetak dan ongkos kirim publikasi ini. Simak lagi pernyataan dari Redaksi Marsela volume 4 nomor 1 Juni 2002 yang berbunyi: ”...Redaksi harus menghadapi kenyataan bahwa majalah kita ini masih sulit mendapatkan langganan atau pembeli tetap. Sehingga secara ekonomis sangat menggerogoti keuangan Pengurus Pusat.” Tidak heran jika banyak jurnal bidang perpustakaan yang tidak dapat bertahan lama. Hasil penelitian Purnomowati dam Yuliastuti (2000) melaporkan bahwa jurnal yang terus menerus terbit selama 20 – 29 tahun hanya 33,33 % (jumlah ini hanya seperempat dari jumlah publikasi awal), sedangkan majalah berumur 10 – 19 tahun mencapai 48,74 %.

Tidak lakunya jurnal bidang perpustakaan dan informasi ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara lain yaitu:
(1) Kualitas artikelnya yang masih kurang baik. Terbukti (mungkin tidak selalu benar) tidak ada satupun jurnal bidang perpustakaan dan informasi yang terakreditasi di Diretorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional (
http://www.dikti.org/p3m/Jurnal Terakreditasi2003.html). Hal ini sejalan dengan pendapat Purnomowati dan Yuliastuti (2000) yang menyatakan bahwa belum ada satupun majalah bidang ilmu perpustakaan dan informasi yang diklasifikasikan sebagai majalah ilmiah oleh Tim Penilai Jabatan Peneliti – LIPI.
(2) Kemampuan atau daya beli pustakawan yang masih rendah. Secara pribadi mungkin pustakawan memang tidak terlalu diharapkan untuk melanggan satu apalagi beberapa judul jurnal. Hanya beberapa orang pustakawan saja yang mungkin dapat menyisakan biaya hidupnya untuk membeli jurnal. Karena itu seharusnya lembaga atau perpustakaan dimana pustakawan tersebut bekerja yang harus membeli terbitan tersebut. Sekurang-kurangnya terbitan tersebut dijadikan bahan penukaran antar perpustakaan. Dengan demikian para pustakawan dapat saling bertukar informasi melalui artikel yang dimuat dalam majalah tersebut.
(3) Minat baca pustakawan yang masih rendah. Pada suatu kesempatan pengajian di perpustakaan, saya pernah menanyakan siapa yang dalam sebulan terakhir membaca sebuah buku kepada teman-teman staf perpustakaan yang berjumlah sekitar 50 orang. Tidak ada seorangpun yang menjawab. Saya heran. Bagaimana mungkin, pustakawan yang setiap hari berhadapan dengan buku (informasi) tidak tertarik untuk membaca. Hasil dua penelitian Saleh dkk (1995 dan 1997) mendapatkan kesimpulan yang konsisten bahwa minat dan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia belum tinggi atau cenderung rendah. Pernyataan ini diulang dalam penelitiannya yang lain dinyatakan sebagai berikut: ”Tingkat minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan tingkat minat baca masyarakat bangsa lain. Pernyataan negatif pesimistis ini sering muncul dan diulang-ulang dalam berbagai laporan hasil penelitian dan pendapat para pakar yang dituangkan dalam berbagai tulisan atau pun disampaikan dalam beragam pertemuan ilmiah” (Saleh dkk, 2004).
Penyebab lain tidak lancarnya penerbitan jurnal bidang perpustakaan dan informasi adalah kurangnya pasokan artikel dari kontributor penulis, dalam hal ini pustakawan. Perhatikan Pengantar Redaksi JPI volume 5 nomor 2, Desember 2005 berikut: ”...lagi-lagi dengan sedikit terlambat. Tapi sesuai dengan pepatah “Better late than never”, Redaksi tetap berupaya agar JPI tetap hadir ke hadapan Anda. Alasan klise adalah kurangnya artikel yang masuk ke meja Redaksi menyebabkan terlambatnya terbitan ini...” Saya yakin sekali, banyak publikasi jurnal bidang perpustakaan dan informasi yang tidak dapat berlangsung karena tidak adanya artikel (yang memenuhi syarat) yang masuk. Simak pula Pengantar Redaksi Marsela edisi Juli 2005 berikut: ” Redaksi Marsela yang baru ingin mengutip apa yang ditulis oleh Redaksi Marsela yang lama yaitu “Better late than never”. Alasan Redaksi masih sama yaitu ketiadaan artikel yang masuk ke meja Redaksi. Inilah realitas dari dunia kepustakawanan kita. Pertanyaannya, apakah sedemikian sibuknya para pustakawan kita sehingga tidak sempat lagi meluangkan waktunya untuk sekedar berbagi informasi dengan cara menulis artikel? Ataukah memang kemampuan menulis para pustakawan kita yang berada di bawah rata-rata sehingga tidak mampu menulis artikel?...”

Upaya Mendorong Publikasi Bidang Perpustakaan
Seperti disampaikan di atas bahwa tersendatnya penerbitan jurnal bidang perpustakaan dan informasi berasal dari kurangnya naskah atau tulisan yang masuk ke meja redaksi, dan minimnya dana untuk membiayai publikasi. Karena itu untuk mendorong agar publikasi jurnal bidang perpustakaan dan informasi terus berlangsung tanpa terputus maka diperlukan upaya-upaya sebagai berikut:

  • Membina Pustakawan agar Menulis
    Dari namanya saja profesi pustakawan ini sudah terlihat bahwa profesi ini selalu berurusan dengan buku (informasi). Jika pustakawan yang selalu berada di tengah-tengah informasi tidak memiliki informasi, maka hal itu dapat diibaratkan dengan semut yang mati ditengah-tengah tumpukan gula. Karena itu harus ada upaya yang mendorong agar pustakawan ini dapat menulis antara lain dengan:
    (1) Bimbingan menulis
    Sebagian besar pustakawan yang ingin menulis sering kali tidak tahu dari mana dia akan mengawali tulisannya. Selain itu teknik menulis belum dia kuasai, penggunaan kosa kata yang terbatas, wawasan dan pengalaman yang terbatas dan lain-lain. Oleh karena itu harus ada pelatihan teknik menulis. Setelah dilakukan pelatihan teknik menulis, para calon penulis ini harus dibimbing dalam melakukan penulisan. Konsep tulisan yang dihasilkan calon penulis ini harus dikoreksi. Hasil koreksian tersebut harus diberitahukan kepada penulisnya dan diberikan pengarahan untuk memperbaiki tulisannya. Hal-hal yang bersifat pengayaan terhadap tulisan harus pula diberikan. Bila perlu penulis tersebut dicarikan bahan bacaan dan diberikan tugas untuk membaca agar tulisan dapat didukung dengan bacaan yang lebih bervariasi sehingga dihasilkan tulisan yang lebih berbobot.
    (2) Membentuk Grup Diskusi
    Diskusi sangat diperlukan untuk mengasah ketajaman analisis terhadap suatu masalah. Selain itu dari diskusi kita akan memperoleh informasi yang mungkin belum kita temukan dari bahan bacaan yang kita baca, namun sudah dibaca oleh teman diskusi kita. Dari diskusi ini sering muncul inspirasi mengenai topik yang akan kita tulis. Oleh karena itu pustakawan perlu membentuk grup diskusi yang secara rutin bertemu dan berdiskusi. Topik yang akan dibicarakan dapat ditentukan terlebih dahulu. Topik tersebut sedapat mungkin berupa kasus yang harus dicarikan solusinya. Buat skenario kasus yang terjadi di perpustakaan. Kemudian mintakan pendapat masing-masing anggota grup diskusi untuk menyelesaikan kasus yang (menurut skenario) terjadi. Berikan kesempatan kepada anggota grup yang lain untuk membahas, memberikan argumentasi, menyanggah dan lain-lain. Tentunya agar diskusi tersebut ”hidup”, masing-masing anggota grup diskusi harus mencari bahan bacaan untuk mendukung argumentasinya. Dari diskusi tersebut para anggota grup diskusi dapat mengembangkan materi diskusinya menjadi suatu tulisan atau makalah. Tulisan tersebut kemudian dikoreksi oleh pustakawan senior (yang sudah biasa menulis) untuk dilakukan perbaikan sampai layak terbit.
    (3) Mengikuti/ mengadakan lomba
    Lomba penulisan artikel sudah sering diadakan baik oleh Perpustakaan Nasional RI maupun oleh Perpustakaan Provinsi. Bahkan beberapa perpustakaan tingkat kabupaten dan beberapa perpustakaan perguruan tinggi juga sering mengadakan lomba yang sama. Dengan mengikuti lomba penulisan tersebut kita bisa mengukur sejauh mana kemampuan kita menulis. Umumnya motivasi menulis akan muncul ketika kita membaca pengumuman tentang adanya lomba. Peserta yang mengikuti lomba sebaiknya juga meminta bimbingan kepada pustakawan senior yang sudah biasa menulis.
    (4) Menyusun tulisan bunga rampai
    Untuk menghasilkan tulisan yang baik para penulis pemula perlu media untuk melakukan latihan. Tulisan-tulisan mereka yang dinilai belum baik tentu akan ditolak oleh dewan redaksi jika tulisan tersebut dikirim ke redaksi sebuah penerbitan. Di sisi lain penulis pemula ini memerlukan pengakuan (dan tentunya kebanggaan) bahwa yang bersangkutan sudah menghasilkan tulisan. Untuk menjembatani kesenjangan tersebut maka pengelola perpustakaan dapat mengumpulkan tulisan-tulisan tersebut dan menyuntingnya bila perlu. Tulisan yang telah terkumpul tersebut dapat diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan artikel atau yang dikenal dengan bunga rampai. Terbitan tersebut dapat dibuat sendiri oleh perpustakaan. Hal ini dimungkinkan dengan kemajuan teknologi komputer yang berfungsi sebagai desktop publishing. Kovernyapun dapat dicetak sendiri dengan printer biasa atau jika perpustakaan bisa menyisihkan biaya untuk pencetakan, maka kovernya dapat dicetak ke percetakan komersial. Isinya dapat diperbanyak dengan cara memfotokopi. Bunga rampai ini bisa diperbanyak dalam jumlah terbatas. Dengan penerbitan seperti ini pustakawan yang baru belajar menulis akan mempunyai kebanggan ketika melihat tulisannya diterbitkan, walaupun dalam penerbitan yang terbatas. Kebanggaan ini akan mendorongnya untuk terus berkarya. Dengan melatih kemampuannya menulis secara terus menerus, maka karya penulis pemula tersebut akan semakin baik dan pada akhirnya tulisannya akan diterima untuk diterbitkan di majalah atau jurnal perpustakaan dan informasi yang berskala nasional.
  • Mencari Solusi Biaya Murah
    Mengatasi soal mahalnya biaya pencetakan maka perlu dicari cara-cara untuk mereduksi biaya tersebut. Beberapa alternatif dapat dilakukan antara lain seperti:
    (1) Membuat electronic publication
    Dalam era digital seperti sekarang ini membuat publikasi electronik yang ditempatkan di server internet sangat memungkinkan. Banyak pengelola Internet Service Provider (ISP) yang menyediakan tempat (space di servernya) gratis untuk menempatkan publikasi kita (misalnya
    www.yahoo.com; www.geocities.com; dan masih banyak lagi). Bahkan diantaranya sudah menyediakan format baku (template) untuk suatu publikasi virtual (misalnya www.blogspot.com; 360o.yahoo.com dan lain-lain). Tinggal kemauan pustakawan saja untuk membuat publikasi, sebab membuat publikasi seperti ini hampir-hampir tidak memerlukan biaya. Satu-satunya biaya yang diperlukan adalah biaya untuk membayar pulsa telepon guna mengirim (up-load) file yang sudah kita buat. Contoh publikasi seperti ini kita bisa lihat di bpip.blogspot.com yaitu Buletin Perpustakaan dan Informasi Bogor. Dengan murahnya biaya publikasi elektronik ini, maka pustakawan dapat melatih kemampuan menulisnya dan mempublikasikannya dalam bentuk elektronik seperti ini.
    (2) Mencari dukungan sponsor atau donatur
    Cara yang kedua untuk mengatasi kendala biaya dalam mempublikasi jurnal perpustakaan ini adalah dengan mencari donatur tetap. Lembaga pemerintah dapat memasukkan biaya publikasi ini dalam anggaran tahunannya. Hal ini memang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah yang menerbitkan jurnal perpustakaan dan informasi. Tidak heran jika penerbit yang bertahan dalam mempublikasi jurnal perpustakaan dan informasi adalah berasal dari pemerintah dan perguruan tinggi yaitu sebesar 89,74 %, sedangkan yang diterbitkan oleh swasta, termasuk organisasi profesi, hanya sebesar 10,26 % (Purnomowati, 2000). Sponsor dari perusahaan swasta mungkin menjadi alternatif sumber pendanaan. Namun biasanya mereka melihat kualitas dari terbitannya sebelum memberikan bantuan dananya. Penerbitan yang berskala nasional biasanya lebih mudah mendapatkan sponsor daripada penerbitan yang berskala lokal.

Penutup
Apa yang disajikan dalam tulisan ini sebagian besar adalah pengalaman pribadi penulis dalam membina penerbitan jurnal bidang perpustakaan dan informasi. Penulis berharap setiap pustakawan yang sudah menjadi penulis dapat membimbing para pustakawan yuniornya agar nantinya mereka dapat menjadi penulis juga. Banyaknya tulisan pustakawan yang layak terbit tentu akan mendorong tumbuhnya penerbitan jurnal bidang perpustakaan dan informasi. Setidak-tidaknya memelihara publikasi yang sudah ada agar jangan sampai mati karena tidak adanya pasokan naskah atau tulisannya.


Daftar Pustaka

  1. Jurnal Pustakawan Indonesia. Pengantar Redaksi. JPI volume 5 nomor 2 Desember 2005. hal. ii
  2. Marsela. Dari Redaksi. Marsela, volume 4 nomor 1 Juni 2002. hal. 1
    Nasoetion, A. Hakim (2002). Baca Buku dan Terapkan. Dalam. Pola Induksi Seorang Experimentalis. Bogor: IPB Press, 2002.
  3. Purnomowati, Sri dan Rini Yuliastuti (2000). Majalah Indonesia Bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Marsela Volume 2 nomor 2 April 2000. hal 13 – 16.
  4. Purnomowati, Sri dan Rini Yuliastuti (2000). Majalah Indonesia Bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi (bagian ke II). Marsela, Volume 2 nomor 2-3 Agustus - Desember 2000. hal 36 – 40.
  5. Saleh, AR dkk. (1995). Penelitian Minat Baca Masyarakat: Pulau Batam. Kerjasama antara Perpustakaan Nasional RI dengan Perpustakaan IPB, Jakarta: Perpusnas RI, 1995.
  6. Saleh, AR dkk. (1997). Penelitian Minat Baca Masyarakat di Jawa Timur. Kerjasama antara Perpustakaan Nasional RI dengan Perpustakaan IPB, Jakarta: Perpusnas RI, 1997.
  7. Saleh, AR dkk. (2002). Kajian Penerbitan Buku di Indonesia tahun 2002 - 2003. Kerjasama antara Perpustakaan IPB dengan Perpustakaan Nasional Indonesia. Jakarta: Perpusnas RI, 2004.

    [1] Pemimpin Redaksi Jurnal Pustakawan Indonesia (JPI)