Tuesday, March 02, 2010

Persoalan-persoalan Kepustawanan Sebagai Konsekuensi Terbitnya UU 43 tahun 2007: Masukan untuk Perpusnas RI

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.
Pustakawan Utama di Perpustakaan IPB
rahman@ipb.ac.id

Pendahuluan
Sebagaimana kita semua maklumi bahwa Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan telah diterbitkan pada 1 November 2007. Terlepas dari pro dan kontra tentang isi dari UU ini, maka terbitnya UU ini tentu saja menjadi berita gembira bagi kalangan pustakawan, karena UU ini membawa harapan baru bagi pengembangan kepustakawanan Indonesia. Namun, selain membawa harapan baru, terbitnya UU ini juga membawa konsekuensi yang juga harus disikapi oleh pustakawan, termasuk Perpustakaan Nasional RI sebagai lembaga pembina perpustakaan dan pustakawan di Indonesia. Selain terbitnya Undang-undang Nomor 43 tahun 2007 yang tentu berimplikasi terhadap perkembangan perpustakaan, maka perpustakaan juga menghadapi banyak tantangan sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi antara lain seperti: (1) perubahan peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan misalnya tentang Otonomi Daerah; (2) perubahan struktur organisasi perpustakaan daerah yang semula perpustakaan berdiri sendiri menjadi bergabung dengan kantor kearsipan; (3) perubahan kurikulum dan sistem pembelajaran di lingkungan pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi; (4) perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi, yang mempengaruhi pola pencarian informasi para pemustaka; serta (5) membaiknya kondisi ekonomi Indonesia yang membawa dampak kepada membaiknya iklim perbukuan yang tentu saja berimplikasi terhadap perkembangan perpustakaan, dan lain sebagainya.

Persoalan yang harus segera diatasi
Sebagaimana disampaikan pada pendahuluan bahwa berlakunya UU 43 tahun 2007 memunculkan persoalan-persoalan baru yang menjadi tantangan bagi Perpustakaan Nasional RI. Persoalan yang harus segera dipecahkan atau dicarikan solusinya antara lain adalah:
1. Revisi Kepmenpan
Menurut pasal 1 UU 43 tahun 2007 mengenai ketentuan umum menyebutkan bahwa Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Pustakawan merupakan bagian dari tenaga perpustakaan yang dimandatkan oleh Undang-undang untuk dibuatkan Peraturan Pemerintahnya (pasal 11 ayat 1 dan ayat 2). Memang, Peraturan Pemerintah mengenai Standar Tenaga Perpustakaan belum disahkan, namun draft RPP ini sudah mencapai tahap akhir, sehingga diasumsikan secara substansial tidak akan mengalami perubahan yang mendasar. Oleh karena itu RPP ini tetap harus dipertimbangkan dalam mengantisipasi perubahan atau perkembangan kepustakawanan di masa depan. Pada RPP disebutkan bahwa gerbang masuk (entri point) kepada profesi Pustakawan dimulai dari tingkat Sarjana (Sarjana Perpustakaan ataupun Sarjana bidang lain ditambah pendidikan perpustakaan). Bagi pustakawan yang berada di lingkungan pegawai pemerintah, ini merupakan masalah baru yang harus segera diselesaikan. Pada saat ini sebagian besar tenaga pustakawan fungsional adalah berpendidikan Diploma dengan jabatan pustakawan terampil (61 %). Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah yang baru nantinya maka Kepmenpan 132/KEP/M.PAN/2002 harus segera direvisi menyesuaikan dengan pasal-pasal yang ada pada Peraturan Pemerintah.
Untuk merevisi Kepmenpan tersebut perlu dipertimbangkan hal-hal sbb:

a) Sesuai dengan PP yang nantinya akan diberlakukan, maka pustakawan adalah semua pustakawan sekarang ini yang berpendidikan sekurang-kurangnya S1 atau D-IV. Lalu, bagaimana dengan PNS yang berada pada posisi pustakawan terampil? Menurut saya pustakawan terampil harus disesuaikan (inpassing) menjadi pustakawan ahli dengan syarat bahwa yang bersangkutan dalam waktu tertentu (misalnya 10 tahun) harus mendapatkan pendidikan S1 bidang ilmu perpustakaan (atau D-IV). Jika sesudah 10 tahun yang bersangkutan masih belum bisa memenuhi persyaratan tersebut, maka yang bersangkutan dikembalikan menjadi ?teknisi perpustakaan?. Alasan untuk melaksanakan hal seperti ini adalah karena pustakawan yang menduduki jabatan fungsional pada saat ini adalah pustakawan yang terkena peraturan baru (UU 43/2007) sehingga kepada semua pustakawan harus diberikan kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan pustakawan sesuai dengan perubahan Kepmenpan sebagai akibat terbitnya UU 43. Kasus ini ada padanannya yaitu pada saat diberlakukan Kepmenpan nomor 18 tahun 1988, maka semua PNS yang bekerja di perpustakaan dengan masa kerja sekurang-kurangnya 2 tahun diberi kesempatan untuk menjadi pustakawan melalui proses penyesuaian atau inpassing. Dengan demikian kasus ini dapat dijadikan semacam ?jurisprudensi? bagi terbitnya Kepmenpan baru pasca UU 43 nantinya.

b) Pekerjaan pada butir kegiatan pustakawan terampil dalam Kepmenpan 132/2002 nantinya akan menjadi pekerjaan tenaga teknis perpustakaan dengan nama jenis tenaga ?asisten pustakawan? ataupun ?teknisi perpustakaan?. Jenis tenaga ini menggantikan posisi pustakawan terampil. Bila dimungkinkan maka ?teknisi Perpustakaan? ini dapat diusulkan menjadi jabatan fungsional dengan sifat-sifat yang sama dengan fungsional umum dimana kenaikan pangkat dan jabatan tidak memerlukan angka kredit dan dapat naik secara reguler sesudah memenuhi persayaratan administrasi yang ditentukan.

c) Draft revisi Kepmenpan 132/KEP/M.PAN/2002 harus segera digarap dengan harapan ketika Peraturan Pemerintah tentang standar tenaga perpustakaan tersebut diterbitkan, maka revisi Kepmenpan sudah siap diterbitkan juga.

d) Revisi Kepmenpan ini juga harus menyeluruh, artinya selain masalah persyaratan untuk menjadi pustakawan, juga harus merevisi butir-butir kegiatan pustakawan. Selain karena perubahan status jabatan pustakawan yang tadinya terdiri dari dua jenis yaitu pustakawan terampil dan pustakawan tingkat ahli, juga perubahan ini perlu mempertimbangkan kemajuan dan perkembangan teknologi di perpustakaan.

2. Nasib pendidikan Diploma Perpustakaan
Seperti diketahui dalam rancangan Peraturan Pemerintah, syarat untuk mendapatkan status pustakawan adalah sekurang-kurangnya mendapatkan pendidikan S1/Diploma IV bidang perpustakaan atau S1/IV bidang non perpustakaan ditambah dengan pendidikan perpustakaan. Pasal ini akan berimplikasi kepada nasib pendidikan Diploma bidang perpustakaan di masa depan. Saat ini semua pendidikan diploma perpustakaan adalah pada jenjang diploma III. Apakah pendidikan diploma III ini akan berlanjut, ataukan harus ditutup, atau dijadikan perpustakaan pendidikan diploma IV? Jika berlanjut pada jenjang pendidikan diploma III, maka lulusan pendidikan diploma III perpustakaan ini akan mengisi lowongan ?teknisi perpustakaan? yang banyak diperlukan oleh perpustakaan-perpustakaan ?kecil? seperti perpustakaan Sekolah Dasar, perpustakaan umum desa dan kelurahan, perpustakaan umum tingkat kecamatan dan lain-lain. Namun demikian, Perpustakaan Nasional RI bersama-sama dengan Direktorat Pendidikan Tinggi serta Perguruan Tinggi penyelenggara pendidikan diploma perpustakaan harus merancang jalur pendidikan lanjutan (further education) bagi lulusan program diploma ini untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Misalnya harus menghidupkan pendidikan Diploma IV bidang perpustakaan. Tentu dengan persyaratan tertentu yang disetujui oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, maka pendidikan tingkat diploma III perpustakaan tidak harus ditutup, namun justru harus dikembangkan mengingat kebutuhan tenaga ?teknisi perpustakaan? di seluruh Indonesia pasti sangat besar. Di Indonesia terdapat 169.031 Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, 32.962 Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, dan 17.792 Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah serta Sekolah Menengah Kejuruan. Jumlah seluruh sekolah tingkat dasar dan menengah tersebut adalah 219.785 sekolah3. Jika sekurang-kurangnya diperlukan satu orang ?teknisi perpustakaan? saja untuk masing-masing sekolah, maka seluruh sekolah tersebut memerlukan sebanyak 219.785 orang ?teknisi perpustakaan?. Ini belum menghitung jumlah ?teknisi perpustakaan? yang dibutuhkan di perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan umum propinsi, kabupaten kota dan perpustakaan kecamatan, bahkan Perpustakaan Nasional RI. Jumlah ini akan sangat sulit dipehuhi oleh program studi ilmu perpustakaan yang tersebar di 22 perguruan tinggi di Indonesia4. Saat ini jumlah perpustakaan yang ada adalah sejumlah 134.337 perpustakaan yang terdiri dari Perpustakaan Nasional, perpustakaan umum (Desa/Kelurahan dan Kabupaten/Kota), Perpustakaan Sekolah, Perpustakaan Perguruan Tinggi Perpustakaan Provinsi, dan Perpustakaan Khusus. Jumlah Pustakawan Fungsional (PNS) adalah sebesar 2.792 orang. Jumlah ini sangat jauh dari kondisi ideal yang diperlukan oleh Indonesia. Karena itu adanya UU 43 tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah yang akan segera diterbitkan, justru menjadi tantangan bagi perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhan tenaga yang harus dipekerjakan di perpustakaan-perpustakaan Indonesia. Untuk itu Perpustakaan Nasional RI harus menyusun ?grand design? bagi pengembangan pustakawan melalui pendidikan tinggi. Grand Design ini dapat diajukan kepada Pemerintah untuk dibiayai baik melalui APBN maupun melalui dana sponsor dari luar negeri (baik melalui dana hibah atau grant ataupun melalui dana pinjaman atau loan). Hal ini sangat penting bagi pengembangan perpustakaan Indonesia di masa depan. Bukankah dalam UU 43 pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan perpustakaan (pasal 7 ayat 1 butir a dan b; pasal 15 ayat 1, 2)? Dengan demikian, jika pemerintah menginginkan agar penyelenggaraan perpustakaan tersebut dapat berjalan dengan baik, maka pemerintah juga berkewajiban untuk menyediakan tenaga pustakawan yang menjadi salah satu inti dari kegiatan perpustakaan (pasal 15 ayat 3).
Untuk kebutuhan teknisi perpustakaan (tenaga perpustakaan menurut istilah Permendiknas nomor 25 tahun 2008) lulusan D2 ini masih diperlukan seperti disebutkan pada lampiran Permendiknas nomor 25 tahun 2008 butir 2a yang menyebutkan bahwa ?Kepala perpustakaan sekolah dan madrasah harus memenuhi salah satu syarat berikut: a. Berkualifikasi diploma dua (D2) Ilmu Perpustakaan dan Informasi bagi pustakawan dengan masa kerja minimal 4 tahun?. Yang menjadi masalah adalah tidak ada perguruan tinggi penyelenggara pendidikan perpustakaan yang menyelenggarakan program D2, karena memang Direktorat Pendidikan Tinggi tidak lagi mengijinkan program D2 (?). Jika demikian halnya, maka harus dilakukan program khusus (crash program) untuk memenuhi kebutuhan ini. Program ini harus melibatkan Kementrian Pendidikan Nasional, Perpustakaan Nasional dan Perguruan Tinggi penyelenggara program diploma perpustakaan.

3. Masalah kompetensi, sertifikasi profesi dan tunjangan profesi pustakawan.
Tenaga perpustakaan menurut UU 43 2007 terdiri dari pustakawan dan tenaga teknis perpustakaan. Tenaga perpustakaan ini dimandatkan agar dibuatkan standar dalam bentuk peraturan pemerintah tentang standar tenaga perpustakaan (pasal 11 ayat 1). Masalah kompetensi pustakawan memang tidak diatur secara tegas dalam UU 43 2007, namun dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 huruf d disebutkan bahwa: Yang dimaksud dengan standar tenaga perpustakaan juga mencakup kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi. Dengan penjelasan ini maka Perpustakaan Nasional RI sebagai lembaga regulator harus menyiapkan perangkat aturan yang menyangkut standar akademik, standar kompetensi dan sertifikasi profesi bagi pustakawan. Saat ini Perpustakaan Nasional RI memang sudah membentuk Panitia Teknis untuk standar kompetensi pustakawan, dan tim ini sudah bekerja. Namun dengan mandat UU 43 2007, maka tim ini harus berpacu dengan waktu untuk segera menyelesaikan konsep atau draft standar kompetensi sehingga dapat segera disahkan sebagai aturan atau regulasi bagi pustakawan secara keseluruhan baik pustakawan PNS maupun non PNS. Yang perlu diperjuangkan oleh Perpustakaan Nasional RI adalah implikasi sesudah diberlakukannya sertifikasi profesi pustakawan yaitu agar pustakawan yang memiliki sertifikasi profesi mendapatkan imbalan dalam bentuk tunjangan profesi sebagaimana profesi guru dan dosen. Bukankah pustakawan berada dalam ranah yang sama dengan guru dan dosen yaitu dalam ranah pendidikan?

4. Hubungan mekanisme kerja antara pejabat struktural dengan fungsional
Sejak tahun 1988 pustakawan sudah diakui sebagai jabatan fungsional, khususnya pustakawan yang bekerja sebagai PNS, yaitu dengan terbitnya Kepmenpan nomor 18 tahun 1988. Pada sebagian perpustakaan, khususnya di perguruan tinggi, jabatan pustakawan ini menjadi pilihan karir bagi banyak PNS. Namun, pada sebagian perpustakaan lain, khususnya pada perpustakaan pemerintahan, baik propinsi maupun kabupaten/kota, bahkan di Perpustakaan Nasional RI sendiri jabatan pustakawan bukan merupakan pilihan pertama bagi pengembangan karir mereka. Sebagian besar PNS di sama masih mendambakan jabatan sturktural. Mengapa? Ini karena beberapa hal antara lain:
a) Jabatan pustakawan tidak menjanjikan imbalan materi yang memadai dibandingkan dengan jabatan struktural. Tunjangan jabatan Pustakawan Utama (jabatan tertinggi pada jenjang pustakawan) hanya Rp. 700.000,-, sedangkan tunjangan jabatan struktural eselon I bisa sebesar Rp. 5.500.000,-. Selain tunjangannya yang besar, pejabat struktural masih bisa menikmati fasilitas-fasilitas lain dari pemerintah seperti mobil dinas, rumah dinas dan lain-lain.
b) Jabatan pustakawan tidak memiliki kewenangan sebagai pemberi perintah (komando) pada subordinat yang berada di bawahnya. Sebagaimana sifatnya, maka pekerjaan kepustakawanan bagi pustakawan tersebut lebih bersifat pekerjaan mandiri.
Berkaitan dengan butir b ini maka Perpustakaan Nasional RI perlu mengeluarkan peraturan mengenai tata kerja dan tata hubungan kerja antara pustakawan fungsional dengan pejabat struktural, sehingga tidak terjadi dominasi kekuasaan oleh pejabat struktural atas pejabat fungsional (abuse of power). Saat ini memang sudah ada Pedoman Mekanisme Kerja Pustakawan (Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI nomor 36 tahun 2005). Dalam pedoman ini diatur bagaimana hubungan kerja Pejabat Struktural dengan pejabat fungsional (halaman 34 butir C) sebanyak sepuluh butir. Namun dalam aturan ini terlihat sangat jelas dominasi pejabat struktural terhadap pejabat fungsional, dan tidak terlihat peran pejabat fungsional pustakawan dalam proses kepemimpinan (termasuk proses pengambilan keputusan). Disinilah yang harus diatur, misalnya tanggung jawab Pejabat struktural tersebut adalah menyangkut kelancaran pelaksanaan program kerja perpustakaan (quality control), sedangkan pejabat fungsional pustakawan bertanggung jawab terhadap mutu dari pekerjaan yang dilaksanakan oleh para pustakawan tersebut (quality assurance). Dengan tanggung jawab yang seimbang tersebut maka sudah selayaknya imbalan yang merupakan konsekwensi sebagai pejabat dibuat tidak terlalu berbeda. Dalam kasus tunjangan di atas (butir a) perbedaan besar tunjangan tersebut hampir mencapai 1 : 8. Kalaupun harus ada perbedaan, maka perbedaannya harus diperkecil misalnya 1 : 2, sehingga jika pejabat eselon I mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 5.500.000,- maka Pustakawan Utama hendaknya bisa mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 2.750.000,-. Dengan demikian, maka pustakawanjuga akan menjadi pilihan karir pustakawan bagi PNS, sehingga PNS tidak berebut atau antri untuk mendapatkan kesempatan menduduki jabatan struktural.

5. Apakah benar pustakawan termasuk profesi? Bagaimana pendidikan profesi?
Pustakawan diakui sebagai suatu jabatan profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti profesi peneliti, guru, dosen, dokter dan lain-lain. Profesi secara umum diartikan sebagai pekerjaan. Menurut Sulistyo-Basuki (1991) ada beberapa ciri dari suatu profesi seperti (1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2) terdapat pola pendidikan yang jelas, (3) adanya kode etik profesi, (4) berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat kemandirian. Karena pustakawan merupakan suatu profesi, maka untuk menjadi pustakawan seseorang harus tunduk kepada ciri-ciri profesi tersebut. Namun syarat-syarat profesi tersebut ternyata tidak cukup. Pertanyaan yang dajukan oleh beberapa anggota tim penyusun RPP tentang standar perpustakaan yang berasal dari Badan Litbang Kementrian Pendidikan Nasional sangat menggelitik dan perlu dipikirkan lebih jauh. Pertanyaannya adalah apakah untuk menjadi pustakawan seseorang harus menempuh pendidikan profesi, setelah lulus pendidikan sarjana? Pada beberapa profesi lain syarat pendidikan profesi ini jelas, misalnya seseorang akan menjadi dokter setelah menempuh pendidikan profesi yang disebut Co Asistensi selama beberapa tahun setelah yang bersangkutan lulus sarjana kedokteran. Demikian juga halnya pada bidang hukum dimana lulusan pendidikan sarjana hukum tidak serta merta dapat menjadi advokat, notaris, hakim, dan jaksa sebelum menempuh pendidikan profesi yang dipersyaratkan. Seorang guru atau dosen juga harus mendapatkan pendidikan akta untuk mendapatkan brevet mengajar. Jadi pertanyaan seorang dari Balitbang Diknas yaitu apakah pustakawan tersebut sebagai sebuah profesi layak dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya.

6. Masalah transfer pejabat struktural ke fungsional
Adanya Keppres tentang Batas Usia Pensiun (Keppres 102 tahun 2003 tentang Batas Usia Pensiun bagi pejabat fungsional pustakawan) bagi pejabat fungsional pustakawan (PNS) yang dapat mencapai usia 60 tahun bagi pustakawan penyelia dan pustakawan madya, serta 65 tahun bagi pustakawan utama menjadikan pustakawan sebagai ?pelarian? bagi pejabat struktural yang terancam pensiun pada usia 56 tahun. Kerapkali mereka ?pindah? menjadi pustakawan untuk memperpanjang batas usia pensiunnya. Namun bagi profesi pustakawan hal ini tidak selalu menguntungkan, malah lebih banyak merugikan, karena sebagian besar dari mereka yang pindah jalur tersebut ditengarai tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk menyandang jabatan fungsional. Banyak yang terkesan dipaksakan. Beberapa malah langsung diangkat menjadi pustakawan oleh gubernur, tanpa mempertimbangkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang calon pustakawan yang aturannya dikeluarkan oleh Kepmenpan. Kecenderungan seperti ini harus segera diakhiri. Perpustakaan Nasional RI harus mengatur secara tegas bahwa untuk pengangkatan pertama bagi pustakawan Madya dan Utama harus menyerahkan DUPAK yang dinilai oleh Tim Penilai Tingkat Nasional, dan PAKnya harus dikeluarkan oleh Kepala Perpustakaan Nasional RI. Dengan demikian maka kemungkinan terjadinya perpindahan jabatan dari struktural ke jabatan fungsional pustakawan dari diseleksi dengan benar sehingga kualitas pustakawan dapat dipertahankan.

7. Masalah organisasi profesi pustakawan
Organisasi profesi di bidang perpustakaan sekarang ini tidak lagi dimonopoli oleh Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), artinya IPI bukan merupakan satu-satunya oraganisasi profesi pustakawan. Sejak era reformasi telah bermunculan organisasi profesi pustakawan dan perpustakaan baru seperti Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI), Forum Perpustakaan Umum (FPU), Forum Perpustakaan Khusus (FPK), Forum Perpustakaan Sekolah (FPS), Asosiasi Pekerja Informasi Seluruh Indonesia (APISI), Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) dan lain-lain. Ini menjadi tantangan bagi IPI untuk menyatukan organisasi-organisasi pustakawan dan perpustakaan tersebut. Banyaknya organisasi profesi seperti ini sebaiknya tidak dianggap sebagai pertentangan dan perpecahan dari organisasi IPI. Tumbuhnya organisasi profesi tersebut merupakan akibat dari IPI sendiri tidak dapat menampung aspirasi anggotanya. Ini wajar, karena IPI sendiri memiliki anggota yang sangat beragam baik dari segi kualitas akademik anggotanya (dari yang berpendidikan SLTA sampai kepada yang bergelar doktor) maupun dari aspek kelompok asal anggotanya (seperti anggota dari jenis perpustakaan). Tentu saja heterogenitas anggota yang sedemikian besar menjadi persoalan bagi IPI untuk menampung semua aspirasi anggota tersebut. Tugas Pemerintah c/q Perpustakaan Nasional RI adalah membina semua organisasi profesi tersebut, sebagaimana diamanatkan oleh UU 43 2007 pasal 34 ayat 4 yang berbunyi: ?Pembinaan dan pengembangan organisasi profesi pustakawan difasilitasi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat?. Untuk dapat mengerahkan potensi dan kekuatan personil yang berada dalam organisasi-organisasi profesi tersebut maka Perpustakaan Nasional harus memfasilitasi agar organisasi-organisasi tersebut berada dalam satu payung organisasi. Apakah IPI dapat bertindak sebagai payung organisasi profesi yang menaungi organisasi-organisasi profesi yang ada? Ataukah harus ada bentuk lain dari organisasi profesi? PNRI-lah yang harus memiliki inisiatif memikirkan dan mendorong ke arah terbentuknya organisasi profesi yang diinginkannya. Menurut penulis, kondisi organisasi profesi kita ini mirip dengan kondisi organisasi profesi di Amerika. Di Amerika ada American Library Association (ALA), dan dalam ALA ada divisi organisasi seperti American Association of School Librarian (AASC), Association fo Library Service to Children (ALSC), Association for Library Collections and Technical Services (ALCTS), Association of College and Research Libraries (ACRL), Public Library Association (PLA), dan lain-lain. Penulis berpikir Ikatan Pustakawan Indonesia dapat mengambil model seperti yang dijalankan oleh ALA di Amerika. Ikatan Pustakawan Indonesia dapat menjadi induk organisasi dari organisasi-organisasi profesi yang ada seperti sekarang ini.

Penutup
Terbitnya UU Nomor 43 Tahun 2007 merupakan berkah sekaligus tantangan bagi para pustakawan maupun pustakawan. Pekerjaan rumah bagi Perpustakaan Nasional RI masih banyak agar pelaksanaan UU 43 ini dapat berjalan dengan lancar. Selain sosialisasi, juga penyelesaian peraturan pelaksanaannya harus segera disiapkan. Jika tidak maka UU 43 ini hanya akan menjadi macan kertas yang selalu disebut-sebut dalam membicarakan masalah kepustakawanan namun tidak dapat dirasakan manfaatnya bagi pengembangan perpustakaan dan pustakawan.

Daftar Bacaan
American Library Association. http://www.ala.org/ (diakses tanggal 11 Februari 2010).
Heery, M. and Steve Morgan. (1996). Practical Strategies for the Modern Academic Library. London: Aslib, 1996.
Hernandono. (2008). Meretas kebuntuan kepustakawanan Indonesia dilihat dari sisi sumberdaya tenaga perpustakaan. dalam Kumpulan Naskah Orasi Ilmiah: Pengukuhan Pustakawan Utama 1995 ? 2007. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Rachmat Natajumena. (2008). Perpustakaan Sekolah Lahan Tidur Pustakawan dalam Kumpulan Naskah Orasi Ilmiah: Pengukuhan Pustakawan Utama 1995 ? 2007. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Republik Indonesia. Perpustakaan Nasional. (2007). Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Jakarta: Perpusnas RI, 2007.
Republik Indonesia. Perpustakaan Nasional. (2005). Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pedoman Mekanisme Kerja Pustakawan. Jakarta: Perpusnas RI, 2005.
Republik Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Standar Perpustakaan Sekolah/Madrasah.
The Academic Library Director: Reflections on a Position in Transition. Frank D?Andraia (editor). (1997). New York: The Haworth, 1997.


Naskah ini pernah disampaikan pada Rapat Tim Pertimbangan Pengembangan Pustakawan tanggal 17 Februari 2010 di Perpustakaan Nasional, Jakarta.

2 comments:

Subhan said...

Alhamdulillah saya dapat menemukan tulisan ini. Terima kasih atas gagasan-gagasan dalam tulisan ini yang sangat inspiratif.

Salam

Bagus bugs Ramdan said...

Semoga carut marut profesi pustakawan ini cepat diselesaikan.

Hal pertama yang harus diselesaikan adalah memperjelas status dulu deh:-)

Salam Pustakawan
http://perpus-indonesia.blogspot.com